“SUNGGUH aku tidak mampu bersabar lagi dengan sikapmu suamiku. Sudah 4
tahun kita menikah, empat tahun pula sikapmu tidak pernah berubah
terhadapku bila ibumu berada di sekitar kita,” ucap seorang istri
menumpahkan rasa gundahnya kepada sang suami di suatu malam.
Mereka baru saja pulang dari rumah sang mertua dan mendapati betapa
kehadirannya diacuhkan oleh suaminya sama persis dengan yang dilakukan
seumur pernikahannya.
“Ada apa istriku? Sikap apa yang kulakukan hingga engkau terlihat sedih dan gundah serta membenciku?” tanya sang suami.
“Jangan pura-pura tidak tahu. Sudah empat tahun kita menikah, tidak
pernah sekalipun engkau mengizinkanku memasak bila ibu atau ayahmu
berada di dekat kita. Bila ibumu datang, engkau berpesan bawalah makanan
dari rumah karena engkau merindukan masakan ibumu.
Bila kita berkunjung
kesana, engkau pun berpesan kepadaku agar tidak memasak kecuali apa-apa
yang di minta bantu oleh ibumu. Namun lihatlah! Bila ibumu dan ayahmu
tidak berada di sampingmu, engkau selalu merengek meminta dimasakkan
makanan kesukaanimu.
Padahal engkau tahu aku hanya memasak demimu saja,
karena aku tidak menyukai masakan yang engkau sukai. Aku tidak suka
ikan, aku juga tidak suka dengan sayur kegemaranmu. Lalu mengapa engkau
terkesan menganggap aku tidak pantas memasak untukmu juga ketika ibumu
dan ayahmu berada di sekitarku?”
“Aku tidak bermaksud seperti itu istriku. Sungguh aku sangat
bersyukur kepada Allah dan berterimakasih dengan kebaikanmu. Dan engkau
dapat temukan aku adalah suami yang tidak pernah memburukkanmu di depan
kedua orangtuaku.”
“Lalu mengapa engkau bersikap seolah-olah aku tidak ada ketika ibumu ada?”
Sang suami menarik nafas panjang. Diam dan memilih tidak melanjutkan percakapan ini.
“Demi Allah, kalau engkau tidak menjawab apa maksud perbuatanmu, maka aku akan mengadukan prilakumu kepada Allah!”
“Wahai istriku, sungguh aku tidak ingin mengatakan sebab aku selalu
menahanmu memasak ketika ibu dan ayahku berada di sisiku. Namun bila
engkau sudah berniat mendengarnya maka ketahuilah aku melakukannya
karena menyayangimu.”
“Menyayangiku bagaimana? Engkau malah menampakkan kesan seolah-olah aku tidak pantas memasak untukmu dan kedua orangtuamu.”
“Bukan itu maksud yang sebenarnya. Namun ketahuilah aku menyayangimu dan berusaha menyelamatkanmu dari prasangka buruk.”
“Prasangka buruk yang mana lagi? Aku dekat dengan ibumu selayak aku
dekat dengan ibuku sendiri. Malah dengan tidak mengizinkan aku memasak
demimu dan mereka aku terkesan seorang istri yang manja.”
“Baiklah, bila engkau memaksa tahu. Sebenarnya aku sangat bersyukur
dan berterimakasih engkau telah rela memasak demiku setiap harinya.
Masakan yang engkau tidak pernah memakannya karena engkau sendiri tidak
terbiasa memakannya. Setiap engkau melihat ikan segar, engkau menjadi
mual, namun engkau paksakan juga menyiapkannya untuk dimasak karena
engkau menyayangiku.”
“Setiap engkau memasaknya, akupun memakannya hingga tidak bersisa.
Namun ketahuilah sayang, sebagaimana engkau sabar dengan keinginanku
akan masakan tersebut, aku juga sebenarnya juga sering bersabar dengan
masakanmu.”
“Sungguh, masakanmu kerap tidak berasa kuahnya, tidak matang
dagingnya, tidak meresap bumbunya. Namun aku tahu betapa besar
pengorbananmu dalam memasaknya. Maka tidak pernah sekalipun aku berusaha
mengatakan kekurangan itu padamu. Sebab walaupun aku mengatakannya,
engkau tidak dapat merasakannya karena engkau sulit mencicipinya.”
“Aku semestinya bersyukur sekaligus bersabar dengan masakanmu sebagaimana engkau bersyukur dan bersabar dengan keinginanku.”
“Namun hal ini menjadi lain bila ibu berada disampingku. Aku ingin
menjaga prasangka ibu kepadamu agar selalu dalam kebaikan. Aku
membayangkan bagaimana reaksi ibu bila mencicipi masakanmu. Mungkin
beliau akan terkejut lalu menasehatimu. Namun engkau akan merasa
perkataan ibu tidak masuk akal karena selama ini aku memakan masakanmu
tanpa pernah sekalipun berkeluh kesah. Maka boleh jadi engkau akan
memprasangkai ibu dan ibu pun mengira engkau tidak tulus dalam memasak
untukku.”
“Maka aku mencari jalan alternatif yang sama-sama membahagiakan. Ibu
sangat bahagia bila aku meminta beliau memasak kepadaku. Ibu manapun
akan senang diminta masak oleh anaknya. Termasuk ibuku. Itu bentuk kasih
sayang seorang ibu kepada anaknya.”
“Engkau juga terbebas dari segala macam prasangka. Ibu tidak akan
berprasangka buruk atas masakanmu tidaklah karena aku memintanya sendiri
tanpa mengeluhkan masakanmu. Aku berusaha menyelamatkanmu dan
menyelamatkan ibu. Kedua perempuan yang sangat berharga dalam hidupku.”
“Maka bila engkau menganggap perbuatanku telah menyakitimu,
sungguh-sungguh aku meminta maaf. Dan janganlah engkau mengadukan aku
kepada Rabbku karena cukuplah kesabaranmu melayaniku menjadi alasanku
untuk ridha denganmu dan cukuplah sabarku atas masakanmu sebagai
alasanmu untuk terus mencintaiku.”
Maka di dalam keluarga yang dilandaskan dengan ilmu dan akhlak mulia,
selalu saja ada alasan untuk merekatkan keindahan amal walaupun
dihadapkan dengan hajat yang tidak tersampai maksudnya, ataupun
prasangka buruk disebabkan sesuatu hikmah yang belum tersibak
kebenarannya. []
0 Response to "Engkaulah Suami yang Tidak Tahu Berbalas Budi"
Post a Comment