Berikut ini ada penuturan yang diberikan oleh sahabat Vemale
yang mengaku mencintai kekasihnya karena Tuhan. Awalnya ia mengira bahwa
cinta yang diberikan padanya adalah cinta yang alami, tumbuh dengan
sendirinya, namun belakangan ia akhirnya sadar bahwa Tuhanlah yang
berperan dan menjadikannya baik hingga kini.
Berbicara mengenai cinta sejati banyak orang yang
hingga kini salah memahami arti dari cinta sejati dan siapa cinta sejati
itu sendiri. Banyak orang yang menafsirkan bahwa cinta sejati adalah
cinta yang terjadi antara kita dengan pasangan, yang kita sebut dengan
cinta sehidup semati. Namun, benarkah demikian? Jika memang cinta yang
terjadi antara manusia dan manusia, siapa yang menguatkan rasa cinta
itu?
**
Aku seorang
ibu rumah tangga berumur 50 tahun. Sejauh ini, kehidupan rumah tanggaku
baik-baik saja hingga menjelang ulang tahun pernikahan yang ke-27. Aku
bersyukur karena aku dan suamiku bisa menjaga hubungan keluarga kami
agar tetap utuh dan harmonis. Semua itu tak lebih dari sebuah komitmen
di awal pertemuan kami, 23 tahun silam.
Saat itu, aku tengah
keluar dari pelataran parkir kantor berniat menuju musholla terdekat.
Sengaja aku tidak mengambil porsi makan siang yang memang disediakan
oleh kantor karena aku berniat untuk bertemu dengan teman kuliah di
dekat musholla. Rencananya, setelah bertemu dengan teman, kami
melanjutkan untuk makan siang bersama.
Di sanalah, komitmen itu
mulai kubentuk. Bukan, bukan karena kami menjalin hubungan dari awal.
Karena komitemen itu kubangun bukan dengan teman lamaku, tapi dengan
teman yang sengaja dibawa temanku untukku. Iya, teman lamaku sengaja
menjodohkanku dengan laki-laki itu. Laki-laki yang kini menjadi suamiku.
Jujur, awal bertemu aku langsung takjub dengannya. Namun, rasa itu tak
lebih dari sekedar simpati karena aku memang belum berani berkata lebih
dari sekedar simpati. Aku menyimpan rasa simpati dan kagum itu selama
beberapa minggu, mungkin kalian menyebutnya cinta pada pandangan
pertama, mungkin saja itu benar terjadi padaku.
Selama tiga minggu
aku terus memikirkannya tanpa ada kegiatan yang berarti. Maksudku, aku
hanya berani memikirkannya, tidak lebih. Berhari-hari kurasakan perasaan
yang menjalari hatiku hingga terasa hangat. Aku tahu mungkin ini
terlalu berlebihan, tapi percayalah, aku benar-benar merasakannya.
Sebelumnya, aku belum pernah merasakan rasa yang menggelora seperti ini
karena dulu aku masih terlalu sibuk dengan pelajaran-pelajaran yang
cukup menguras pikiran. Namun, kini, aku merasakan seperti abg yang
sedang jatuh cinta. Tuhan, ternyata seperti ini rasanya.
Tak sabar
dengan segala gejolak yang melingkupi hatiku, aku akhirnya memutuskan
untuk curhat pada teman lamaku yang mengenalkanku pada lelaki itu.
Kukatakan segala perasaan yang kurasakan, biarlah, sekali saja aku
merasakan malu karena rasa ini akhirnya kuceritakan juga pada orang
lain. Aku hanya ingin berbagi, sebenarnya ada apa dengan hatiku.
Setelah
curhat itu, aku akhirnya menyepakati untuk bertemu dengan lelaki itu
sekali lagi, dengan didampingi oleh temanku dan suaminya. Di sana, di
luar dugaanku, lelaki itu justru memintaku untuk menjadi istrinya. Ia
berkeinginan untuk meminangku. Lihatlah, ini berjalan terlalu cepat
bagiku. Hingga akhirnya kusadari bahwa aku tak layak bersanding
dengannya. Saat itu, aku hanya bengong dan meminta banyak waktu untuk
menjawabnya. Meski aku bahagia mendengarnya, tapi jujur, aku merasa ada
yang kurang dengan diriku.
Sampai di rumah, bukannya aku
menceritakan hal itu pada orang tuaku, tapi aku malah menyendiri di
kamar. Selama tiga hari ritualku hanya ada di kamar, kamar, dan kamar,
selain keluar untuk ke kantor, selebihnya kamar lagi. Ibuku bingung
dengan apa yang terjadi denganku, namun aku tetap saja bungkam. Aku
tidak mau beliau tahu di waktu yang aku sendiri belum siap.
Selama
tiga hari itu, aku menelpon Lastri, teman lamaku. Aku banyak menanyakan
keseriusan lelaki yang telah melamarku itu. Mulai dari sikap, sifat,
karakter, keseharian, semuanya. Sayang, Lastri hanya menjawab bahwa
lelaki itu adalah seorang yang alim dan taat pada ajaran agama. Jelas,
saat itu juga aku bungkam seribu bahasa. Bagaimana mungkin aku bisa
mendapatkan pria yang jelas-jelas jauh di atasku tersebut?
Aku
berkaca, sholat saja aku sering kali sengaja meletakkannya di akhir
waktu. Mengaji, hanya sesekali, itu pun kalau ingat. Sedangkan ajaran
agamaku yang lain? Aku tak pernah menjalankan di luar ajaran-ajaran yang
wajib dilakukan. Padahal, ajaran yang wajib saja aku sering telat,
apalagi sunnah.
Aku berkaca kembali, benarkah aku layak
disandingkan dengan lelaki yang demikian? Benarkah aku bisa menjaga
keluargaku kelak dari bahaya siksa neraka yang panas dan kejam itu?
Lututku lemas, ada rasa yang menyergap hebat pada hatiku. Ada sebuah
bisikan agar aku segera memperbaiki diri. Satu, mungkin aku memang
mencintainya. Dua, aku ingin mempunyai suami yang demikian, yang bisa
membimbingku kelak. Tiga, itu artinya aku harus memperbaiki diri.
Bergegas kuteguhkan niatku.
Memang perubahan bukanlah hal yang
mudah, tapi ternyata Tuhan membantuku. Berbagai kemudahan dalam niatanku
untuk berubah berhasil kulakukan dalam waktu tiga bulan, dan aku memang
terus berbenah. Aku yakin, aku bisa membenahi diriku hingga akhirnya
aku bisa menyebut diriku layak disandingkan dengan dirinya.
Hingga
akhirnya waktu itu tiba, sebelum kukatakan jawaban atas malam-malam
panjangku, dia, lelaki itu mengucapkan sesuatu hal yang benar-benar
kembali membuat lututku lemas seketika.
"Aku mencintaimu karena
Allah, bukan karena banyak hal yang ada pada dirimu, entah jabatan,
kekayaan, dan popularitas, bukan karena itu. Karena aku memang
mencintaimu karena Allah. Kulihat, kau taat dengan agamamu, sesekali ada
dalam majelis pengajian dan sering kulihat selalu menjalankan ibadah."
Jujur
saja, dia tidak tahu apa yang sebenarnya ada pada diriku jauh sebelum
dia mengenalku. Mungkin, ia melihatku sesekali dalam tempat yang
disebutkan tadi, tapi keseharianku? Masyaallah, seketika aku menangis di
depannya, aku merasa rendah sekali di hadapannya, terlebih di
hadapan-Nya.
**
Begitulah, cinta sejati. Bukan karena kita
saling mencintai pada pasangan kita, tapi cinta sejati adalah cinta yang
ada Tuhan di antara kita dan pasangan. Semata-mata hanya ditujukan pada
Tuhan, pencipta segala cinta yang ada di bumi.
<Female.com>
0 Response to "[ Kisah Nyata ] Aku Mencintaimu Karena Allah "
Post a Comment