Dalam sepekan terakhir, media sosial dihebohkan dengan keberadaan sopir taksi
unik di Jakarta bernama Peter Yan. Pasalnya sopir taksi Eagle, Express
Group ini, ternyata lulusan Jerman dan sesekali mengajar S2 sebagai
dosen tamu di salah satu universitas swasta di Jakarta.
Di tengah maraknya isu jual beli ijazah palsu untuk mengejar jabatan, Peter punya kisah yang tidak mudah untuk mendapatkan gelar Dipl.Ing. di Jerman. Ijazah tersebut tak semata-mata digunakan untuk mencari kerja atau mengejar posisi tinggi, namun ilmunya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Profesi utamanya sebagai sopir taksi, namun kerja sampingannya sebagai dosen.
Bermula dari Facebook
Adalah
pemilik akun facebook Aji Prasetyo yang menyebarkan informasi tersebut.
Hal ini bermula dari keheranan Aji saat mendengar sopir taksi yang
ditumpanginya itu, menerima telepon dan bercakap-cakap dengan Bahasa
Jerman yang cukup fasih. Rupanya pria yang bernama Peter Yan tersebut
memang mengenyam pendidikan di Jerman.
Mengenyam Pendidikan di Jerman
Peter mengaku menyelesaikan kuliahnya di Jerman selama 10 tahun yaitu
sejak tahun 1977-1987. Sebab kala itu ia kesulitan memenuhi kebutuhan
hidup
"Kuliah di sana gratis. Tapi saya sambil kerja. Cari duit untuk biaya hidup di sana. Jadi lama kuliah saya," kata Peter sambil terkekeh.
"Saya memang kuliah di Technische Hochschule Darmstadt, Jerman, bidang civil engineering. Lulus tahun 1977," ujar Peter yang masih mengenakan seragam kerjanya warna biru di kantor Express Group, Jl Sukarjo Wiryopranoto nomor 11, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Jumat (22/5/2015).Pria asal Kupang, Nusa Tenggara Timur ini mengaku pernah melakoni berbagai macam pekerjaan. Mulai dari menjual koran hingga menjadi asisten dosen di Jerman pernah dijalaninya.
Di sana ia juga sempat berkeluarga. Peter menikah dengan seorang WNI yang juga kuliah di Jerman dan melahirkan putri mereka di sana. Pria bergelar Dipl-Ing ini kemudian kembali ke Indonesia setahun setelah lulus kuliah, yaitu tahun 1988.
Setibanya di Indonesia
Di
Indonesia, Peter mempraktikkan ilmu yang didapatnya di Jerman dengan
membuat berbagai desain tata kota. Tak sedikit karya Peter yang
menurutnya dijadikan referensi oleh beberapa pemerintah daerah di
Indonesia.
"Tahun 1991 saya dan 2 teman saya sudah bikin desain busway persis seperti yang digunakan saat ini," kata pria yang telah 6 bulan menjadi sopir taksi ini.Namun menurut Peter, Pemprov DKI Jakarta kala itu belum berminat menggunakan desain yang diajukannya. Ia juga mengaku turut membuat desain sejumlah jalan layang di Jakarta. Selain itu Peter juga membuat desain untuk pembangunan ribuan rumah pasca gempa yang mengguncang Aceh 2004 lalu. Ia juga mengajar di kampus swasta ternama di Jakarta, Universitas Tarumanegara untuk program Pasca Sarjana
"Saya dosen tamu saja di sana (Untar). Ngajar mata kuliah Water and Transportation," ujar pria yang berusia 58 tahun ini.Meskipun dosen tamu, Peter tampak cukup aktif di Untar. Dalam website resmi Untar, www.untar.ac.id, diceritakan bahwa Peter pernah menjadi panelis dalam diskusi panel bertajuk 'Jakarta Urban Movement (Flow-Behavior-Network)'. Peter memberikan pemaparan dengan judul 'Bergerak dalam Kemacetan Jakarta'.
Kenapa Peter Memilih Jadi Sopir Taksi?
Peter
menjelaskan, dengan menjadi sopir taksi, ia mengetahui secara detil di
mana saja titik kemacetan di Jakarta. Bahkan menurutnya ada 700 lebih
simpul lalu lintas yang salah di Jakarta sehingga menyebabkan kemacetan
semakin tak terhindarkan.
Kisah Peter Yan ini mengajarkan pada kita bahwa hidup tak selamanya berjalan mulus. Kadang mendapat banyak kenikmatan, tak jarang mendapat cobaan. Peter Yan mengajarkan untuk menerima segala yang diberikan dengan ikhlas dan tetap menjalaninya dengan penuh semangat serta syukur. Tak perlu malu dengan apa yang dikerjakan, selama itu baik, tentu kelak akan berbuah baik.
"Saya ingin tahu secara langsung kemacetan di Jakarta di mana saja, kapan dan kenapa. Kalau kita sudah mengenali, kita baru menguasai. Jadi sebelum bicara kemacetan, saya harus tahu persis permasalahannya," urai Peter.Peter kerap membawa laptop di dalam taksinya untuk menyimpan data-data kemacetan yang ia ketahui. Selain itu menurutnya, dengan menjadi sopir taksi, ia tahu apa yang dipikirkan oleh masyarakat tentang kemacetan di Jakarta.
Kisah Peter Yan ini mengajarkan pada kita bahwa hidup tak selamanya berjalan mulus. Kadang mendapat banyak kenikmatan, tak jarang mendapat cobaan. Peter Yan mengajarkan untuk menerima segala yang diberikan dengan ikhlas dan tetap menjalaninya dengan penuh semangat serta syukur. Tak perlu malu dengan apa yang dikerjakan, selama itu baik, tentu kelak akan berbuah baik.
Silakan share jika bermanfaat >>>
0 Response to "Karena Hidup Tak Perlu Gengsi, Inilah Sopir Taksi Lulusan Jerman yang Tetap Pede Meski Nyambi Menjadi Dosen"
Post a Comment