Kumpulan Kisah Abu Nawas



Abu Nawas mengakali tuan tanah yang kikir

Hari itu puasa Ramadan memasuki hari ke dua puluh. Seperti biasa Abu Nawas duduk di beranda depan gubuknya sambil menunggu azan Magrib. Sambil menunggu matahari tenggelam, Abu Nawas memikirkan bagaimana caranya agar dapur tetap mengepul.

Sementara Abu Nawas kebingungan, tak jauh dari rumahnya ada tuan tanah yang mempunyai rumah yang sangat besar. Hampir penduduk sekitar daerah yang bekerja pada tuan tanah itu hanya mendapatkan hasil yang sedikit. Bila meminjam bahan makanan pada tuan tanah itu, maka selalu dengan bunga pengembalian yang sangat tinggi. Sebagaimana layaknya tuan tanah, ia pelit, rakus, dan tamak.

Suatu hari tuan tanah mendengar berita bahwa Abu Nawas memiliki kepribadian yang unik. Apabila meminjam sesuatu, Abu Nawas akan mengembalikannya secara lebih dengan alasan beranak. Misalnya meminjam seekor ayam, maka akan dikembalikan lebih karena ayam itu beranak. Tuan tanah lalu mencari cara agar Abu Nawas segera meminjam uang darinya.

Secara kebetulan pada sore itu Abu Nawas ingin meminjam tiga butir telur. Langsung saja tuan tanah bahagia karena pinjaman itu akan menjadi banyak nantinya. Bahkan tuan tanah tersebut menawarkan pinjaman-pinjaman lainnya. Tapi Abu Nawas hanya ingin meminjam itu saja. Dengan cepat tuan tanah menanyakan kapan bisa beranaknya telur itu? Abu Nawas menjawab, kalau itu tergantung keadaan.

Lima hari setelah itu, Abu Nawas kembali ke tuan tanah. Ia mengembalikan pinjaman tiga telur dengan lima butir telur. Tuan tanah senang bukan kepalang. Ia lalu menawari Abu Nawas untuk meminjam lagi. Abu Nawas pun memang sudah niat untuk meminjam kembali. Kali ini ia meminjam dua buah piring tembikar. Tuan tanah memberikannya dengan senang hati dengan harapan akan dikembalikan jauh lebih banyak.

Lima hari kemudian, Abu Nawas mengembalikan dua buah piring itu menjadi tiga buah. Walaupun tak seperti harapannya, tapi ia tetap cukup senang. Saking senangnya, Abu Nawas pun dipinjami uang seribu dinar, jumlah yang bisa digunakan untuk gaji puluhan pekerjanya dalam satu bulan.

Tuan tanah sudah membayangkan seberapa banyaknya anakan dari uang yang ia pinjamkan kepada Abu Nawas. Ia sudah tak sabar menunggu waktu itu tiba. Tapi lima hari ditunggu, ternyata Abu Nawas tak datang. Ditunggu hingga hampir sebulan juga tak kunjung datang. Ketika tuan tanah merencanakan mendatangi Abu Nawas bersama para centengnya, tiba-tiba Abu Nawas datang. Mulanya tuan tanah gembira, tapi setelah Abu Nawas menjelaskan persoalannya, ia marah bukan main.

"Sayang sekali tuan, uang yang tuan pinjamkan bukannya beranak, malah tiga hari kemudian mati mendadak!" Mendengar hal itu, tuan tanah marah hingga hampir menghajar Abu Nawas. Untung saja hal itu tak jadi dilakukan.

Tuan tanah lalu mengadukan permasalahan itu ke pengadilan dan berharap Abu Nawas akan dihukum rajam. Di depan hakim, Abu Nawas melakukan pembelaan dengan membeberkan semua duduk persoalannya. Demikian juga dengan si tuan tanah. Abu Nawas memberikan alasan jika sesuatu bisa beranak pasti juga bisa mati.

Alasan itu ternyata dianggap masuk akal oleh hakim hingga Abu Nawas dianggap tak bersalah. Ia dianggap tidak menipu, tapi penuh akal, sedangkan tuan tanah memberikan pinjaman berdasarkan kerelaannya sendiri, bukan atas paksaan, ataupun tipuan. Seketika itu tuan tanah yang tamak itu pingsan selama beberapa jam sulit dibangunkan. Ia telah tertipu karena wataknya sendiri yang kikir, tamak dan pelit.

Kisah Abu Nawas yang ingin memindahkan masjid

Suatu hari Raja Harun al Rasyid berbicara di depan rakyatnya, "Setelah menghadiri shalat Jumat besok kalian jangan pulang ke rumah, saya akan membuat pengumuman yang sangat penting."

Orang-orang yang hadir pun saling kasak-kusuk mencari tahu pengumuman apa yang akan diberikan oleh Raja Harun al Rasyid. Kegaduhan terjadi hingga akhirnya Raja Harun al Rasyid melanjutkan pengumumannya.

"Tempat di sekitar masjid kita ini sudah sangat ribut. Jadi saya akan memindahkan masjid kita ke lokasi lain. Siapa pun yang dapat memindahkan masjid ini akan saya beri hadiah sekarung emas."

Tak seorang pun yang mengajukan dirinya menyanggupi permintaan Baginda Raja hingga Raja mengulangi pengumumannya beberapa kali. Harun al Rasyid memandang para rakyat yang datang. Ia menyisir mereka dengan matanya. Hingga akhirnya pandangannya terhenti pada sosok yang ia cari-cari.

"Abu Nawas, bagaimana denganmu?" tanya Raja Harun al Rasyid. Abu Nawas terkejut, tapi akhirnya ia menjawab, "Saya akan memindahkan masjid, tapi saya punya satu syarat, Baginda."

"Apa itu? katakanlah!" jawab Baginda Raja. "Sebelum saya memindahkan masjid ini Jumat depan, Baginda harus mengadakan pesta makan untuk kami," terang Abu Nawas.

Semua orang yang hadir terdiam. Mereka heran dan berpikir bagaimana bisa Abu Nawas menerima permintaan Baginda Raja Harun al Rasyid untuk memindahkan masjid ini. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana bisa seorang pria dapat mengangkat dan membawa sebuah masjid besar dari satu tempat ke tempat lainnya.

Hari yang ditunggu pun datang. Semua orang berkumpul di depan masjid. Mereka baru selesai menunaikan shalat Jumat. Mereka lalu mengikuti pesta yang menjadi syarat Abu Nawas itu. Selesai pesta dilakukan, mereka yang hadir menanti apa yang akan dilakukan Abu Nawas.

"Abu Nawas, kini saatnya kau melakukan pekerjaanmu!" kata Raja Harun al Rasyid. "Kalian semua akan menyaksikan sesuatu yang luar biasa hari ini. Abu Nawas akan memindahkan masjid ke tempat yang baru," kata Raja Harun al Rasyid.

"Baik Baginda, masjid ini akan saya pikul di pundak saya," kata Abu Nawas.

Orang-orang yang hadir pun terdiam, mereka menanti dengan penasaran apa yang akan dilakukan Abu Nawas. Abu Nawas melangkah ke depan, menuju orang-orang yang ada di hadapannya. Di berhenti, membungkuk, mengangkat celana panjangnya kemudian menggulung lengan kemejanya, lalu dia berjalan ke masjid. Ratusan orang, termasuk baginda Raja Harun al Rasyid, mengikutinya.

Ketika Abu Nawas sampai di sisi masjid, dia berhenti dan bergumam tanpa suara. Abu Nawas lalu berjalan lagi mendatangi orang-orang yang mengelilinginya dan berkata, "Saudara-saudaraku, biasanya ketika saya membawa sesuatu yang berat, saya akan meminta seseorang untuk meletakkannya di atas pundakku. Masjid ini sangat berat, jadi tolong bantu saya untuk mengangkat dan meletakkannya di atas pundakku."

Semua orang yang hadir tekejut. Mereka saling berpandangan tanpa mengeluarkan suara. "Tuan-tuanku, jumlah kalian sanggat banyak, seluruhnya lebih dari dua ratus orang. Kalian baru saja mengadakan pesta besar, kalian harusnya kuat. Tolong bantu saya mengangkat masjid ini ke pundakku."

Seorang warga pun berkata, "Abu, apa kau gila? Kami tidak akan dapat mengangkatnya!" Orang-orang lainnya secara bergantian juga menyerukan hal yang sama.

"Baginda, bukan salahku tidak memindahkan masjid, orang-orang tidak mau membantuku dengan mengangkatkan masjid ini ke pundakku," kata Abu Nawas kepada Harun al Rasyid.

Raja pun tersenyum masam ketika mendengar kata-kata Abu Nawas. Tapi ia memberikan acungan jempol atas cara yang digunakan Abu Nawas untuk berkelit.

Abu Nawas hampir digantung gara-gara mau terbang

Alkisah telah tersiar kabar bahwa Abu Nawas mau terbang. Berita itu dengan cepat menggemparkan seluruh penjuru kota. Banyak yang ingin tahu tentang berita itu hingga mendatangi Abu Nawas langsung. Tapi dengan santai Abu Nawas menjawab, "betul saudara-saudara, saya mau terbang," jawab Abu Nawas seperti dikutip dari buku Abu Nawas mau Terbang karya Aziz Mushoffa,

Berita jika Abu Nawas mau terbang sudah menyebar dari perkotaan hingga perdesaan. Kabar itu pun juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda begitu kaget dan sedikit panik sebab kabar itu sudah membuat kehebohan di seluruh penjuru negeri. Banyak yang bertengkar dan berdebat tentang kebenaran berita itu. Ada yang percaya, ada pula yang tidak percaya. Karena sudah menimbulkan keresahan, baginda Harun Al Rasyid memanggil Abu Nawas ke istana.

Sesampainya di istana, langsung saja baginda bertanya, "Abu Nawas, betulkah kamu mau terbang?"
"Betul, baginda. Saya memang mau terbang," jawab Abu Nawas dengan santainya.
"Kapan dan di mana?" sahut Baginda.
"Hari Jumat yang akan datang ini, di menara Masjid Baitussalam, baginda," jawab Abu Nawas.
"Baiklah Abu Nawas, karena berita ini sudah membuat banyak perdebatan di kalangan masyarakat, maka pengadilan masyarakat akan memutuskan nasibmu bila berbohong. Sesuai dengan peraturan di negeri ini, kamu akan mendapatkan hukuman berat jika berbohong. Berbohong dan membohongi orang sama dengan menipu, sedangkan menipu bisa dijerat hukuman paling berat, yakni hukum gantung."

Banyak orang yang telah mengetahui pemanggilan Abu Nawas di istana oleh Baginda Raja. Abu Nawas telah mendapatkan ancaman jika berbohong akan dihukum gantung. Mereka tak sabar menunggu hari di mana Abu Nawas terbang atau akan di eksekusi.

Hari Jumat pun tiba. Masyarakat sudah berbondong-bondong memenuhi halaman Masjid Bairussalam. Tak jauh dari arena itu, peralatan untuk melaksanakan hukuman gantung telah disiapkan manakala Abu Nawas berbohong.

Tapi orang-orang yang sudah menyesaki masjid terpana melihat Abu Nawas yang dengan santainya berjalan. Ia tanpa ragu melangkah menaiki menara masjid. Orang-orang pun bertanya, "benarkan Abu Nawas akan terbang?" Ada pula yang berkata, "Silakan terbang Abu Nawas, kalau kamu terbang pasti akan jatuh dan mati, tapi kalau kamu tak terbang, kamu akan digantung."

Suasana menjadi tegang dan hening saat Abu Nawas sudah sampai di puncak menara masjid. Semua mata tertuju pada Abu Nawas, seolah mereka merasa akan menyaksikan kejadian yang luar biasa.

Sementara di atas, Abu Nawas berdiri dan mulai beraksi. Ia mulai menggerak-gerakkan tangannya seolah akan terbang. Ia berulang kali merentangkan tangannya dan mengibas-ngibaskan tangannya berulang-ulang seperti burung. Ia melakukan itu berulang kali sampai beberapa menit berlalu, tapi nyatanya Abu Nawas tak kunjung terbang.

Di pelataran orang-orang saling menolehkan wajahnya, jantung mereka semakin berdegup kencang lantaran hakim sudah bersiap untuk memutuskan hukuman. Tapi Abu Nawas malah dengan santainya turun dari menara. "Apakah kalian tadi melihat bahwa saya mau terbang?" tanya Abu Nawas kepada hadirin setelah sampai di bawah.

"Ya, kamu menggerak-gerakkan tanganmu seolah mau terbang," jawab banyak orang.
"Lalu apakah saya berbohong bahwa saya mau terbang dari menara Masjid Baitussalam?" tanyanya lagi.
Orang-orang pun hanya menggeleng-gelengkan kepada tanpa ada suara yang keluar. "Nah, bagaimana? Saya kan tidak bilang bisa terbang, tapi saya mau terbang. Jadi saya mau terbang, tapi tidak bisa terbang," jelas Abu Nawas.
Orang-orang pun menyadari bahwa inilah kecerdikan kata-kata dan perilaku Abu Nawas. Ia bisa mengubah sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin dengan caranya. Hakim pun menjadi tak berdaya. Mereka kesulitan mencari pasal untuk menjerat Abu Nawas karena merasa ini hanyalah permainan kata dan penafsiran.
"Berhati-hatilah jika menerima berita. Jangan langsung ditelan, tapi renungkan dahulu," kata Abu Nawas kepada khalayak ramai.
Sesampainya di istana, para algojo menceritakan apa yang terjadi hari itu pada baginda Raja Harun Al Rasyid. Bukannya marah atau kecewa, bagianda malah tertawa terbahak-bahak. "Sudah ku kira, ini hanya ulahnya. Aku sudah berulangkali dibuatnya tertawa oleh kecerdikannya."

Kisah Abu Nawas yang dikalahkan oleh untanya


Alkisah di negeri 1001 malam ada unta yang bisa berbicara dengan manusia. Unta tersebut adalah milik tokoh cerdik yang amat terkenal saat itu, yakni Tuan Jambul alias Abu Nawas. Julukan Tuan Jambul ini disematkan karena kebiasaan Abu Nawas yang suka memotong rambutnya dengan model jambul.

Pada suatu hari, Abu Nawas mengajak untanya untuk pergi mengembara. Setelah berpamitan terlebih dahulu kepada istrinya, berangkatkah ia dengan si unta lengkap dengan perbekalannya. Mulailah ia menyusuri gurun pasir yang gersang dan panas sekali di siang hari. Apabila malam tiba dingin yang luar biasa menusuk sampai ke tulang.

Perjalanan yang cukup jauh membuat Abu Nawas dan untanya merasa kelelahan. Di bawah mentari dekat pohon kaktus, mereka berdialog. "Tuan, apakah perjalanan kita masih jauh?"

"Iya, kita harus melewati dua gurun pasir lagi. Setelah itu kita baru akan tiba di sebuah desa terdekat. Setelah sampai di desa itu kita baru bisa beristirahat lebih lama di sebuah penginapan yang aman dan nyaman," jawab Abu Nawas.

Setelah beberapa waktu beristirahat, keduanya mulai melanjutkan perjalanan kembali. Siang sudah berubah menjadi gelap, tanda malam telah tiba. Abu Nawas pun menghentikan perjalanannya untuk sementara. Ia mendirikan sebuah tenda untuk berteduh dan tidur sepanjang malam itu. Tapi malang bagi si unta, ia tak diizinkan oleh majikannya tidur di dalam tenda karena tendanya memang kecil.

Abu Nawas di dalam tidur dengan nyenyaknya. Sementara unta tak bisa tidur lantaran kedinginan. Ia mulai berpikir kalau terus begini pasti dia esok akan sakit dan tak bisa melanjutkan perjalanan.

Tengah malam si unta membangunkan majikannya dan berkata, "Tuan, saya kedinginan. Izinkan saya menitipkan ujung kaki saya masuk ke dalam tenda." Abu Nawas pun merasa tidak berkeberatan karena ujung kaki itu tidak akan mengganggu tidurnya.

Setelah satu jam, si unta berkata lagi, "Tuan, saya kedinginan. Izinkan saya memasukkan kaki depan saya ke dalam tenda agar besok saya kuat berjalan membawa tuan di atas punggung saya."

"Benar juga," pikir Tuan Jambul. Ia pun mengizinkan.

Satu jam lagi si unta berkata lagi, "Tuan hidung saya mulai berair, besok saya akan sakit dan tidak bisa membawa tuan di atas punggung saya. Izinkan kepala saya berada di dalam tenda."

Demikianlah jam demi jam berlalu hingga akhirnya Tuan Jambul tak menyadari jika sekarang ia tidur di luar tenda. Ia pun merasa menggigil kedinginan. Sampai paginya, ia baru menyadari jika dirinya tidur di luar. Melihat untanya masih nyenyak di dalam, si majikan pun membangunkan dan menanyainya kenapa ia tidur di luar sementara unta malah di dalam tenda.

Unta pun bangun. Ia tersenyum sambil menggosok-gosok matanya. Dijawabnya pertanyaan Tuan Jambul tadi dengan santai, "Saya kan tidak mengusir Tuan. Saya sudah meminta izin terlebih dahulu kepada Tuan. Tuan juga memperbolehkan anggota tubuh saya masuk ke dalam tenda. Ini saya lakukan agar hari ini saya kuat menggendong Tuan di atas punggung saya untuk melanjutkan perjalanan."

Sambil bersin-bersin, Tuan Jambul berkata, "Kau memang unta cerdik. Aku yang biasa dikenal orang paling cerdik ternyata masih bisa kau kalahkan."

Si Unta pun menjawab dengan merendahkan diri, "Saya begini kan karena berguru pada Tuan."
Kecerdikan Abu Nawas selesaikan persoalan pembagian kambing
 
Suatu hari datanglah tiga orang desa menghadap Sultan Harun al Rasyid di istana. Sultan Harun al Rasyid yang waktu itu sedang duduk berbincang-bincang dengan para pejabat tinggi, langsung saja mempersilakan ketiga orang itu untuk masuk.
Setelah tiga orang itu membungkuk, salah seorang di antara mereka berkata, "Ampun beribu ampun baginda, karena kami telah mengganggu perbincangan baginda dengan paara pejabat yang lain."

"Tidak, kalian tidak mengganggu. Kami malah senang dengan kedatangan kalian. Memangnya ada apa kalian menghadapku? Adakah persoalan yang ingin kalian sampaikan?"

"Begini baginda, saya, Ahmad, mempunyai dua ekor kambing betina, Zulfikar mempunyai seekor kambing jantan, sedangkan Zubair tidak mempunyai kambing. Karena itulah Zubair yang setiap hari harus bekerja menggembalakan kambing. Apabila ketiga kambing itu beranak pinak, maka pembagian keuntungannya juga telah kami sepakati, yakni saya mendapat separuh dari jumlah kambing, Zulfikar memperoleh sepertiga dari jumlah kambing, sedangkan Zubair yang menggembala dan merawat yang mendapat bagian seperdelapannya," terang Ahmad.

"Lantas apakah kambing itu sekarang telah beranak-pinak?" tanya Baginda.
"Benar baginda, ketiga kambing itu sekarang sudah berjumlah menjadi 23 ekor. Karena itu, kami sekarang ingin membaginya sesuai dengan kesepakatan kami dulu. Tapi ternyata kami kesulitan untuk membaginya. Karena itulah kami ke sini ingin memohon pertolongan baginda," terang Ahmad.

Membagi 23 ekor kambing sesuai perjanjian tentu tidak mudah. Bayangkan, bila Ahmad memperoleh pembagian separuh dari kambing-kambing itu, maka Ahmad sebenarnya mendapat bagian sebelas ekor lebih setengah kambing. Sedangkan Zulfikar memperoleh pembagian sepertiga seharusnya mendapatkan tujuh ekor lebih dua per tiga kambing. Sementara Zubair mendapatkan seperdelapannya yang berarti dua ekor kambing lebih tujuh per delapan kambing.

Harun al Rasyid tampaknya berpikir keras untuk memecahkan masalah tersebut. Bahkan para pejabat yang hadir di tempat tersebut juga tak sanggup memecahkan pasalah tersebut. Karena orang yang hadir di tempat tersebut tak ada yang bisa memecahkan masalah itu, akhirnya Harun al Rasyid terpikir untuk mengundang Abu Nawas yang cerdik untuk ke istana.

Setelah Abu Nawas sampai di istana, ia pun langsung bertanya masalah yang terjadi. Mereka bertiga kemudian menceritakan ulang kronologi kebingungan tersebut.

"Wah..., itu masalah kecil, baginda. Insya Allah saya akan membantu mencarikan jalan keluarnya," kata Abu Nawas. "Tolong bawakan kambing itu masuk semuanya!"

Setelah kedua puluh tiga ekor kambing tersebut dituntun masuk istana, Abu Nawas lalu menghitung kembali jumlah kambing. Sesudah kambing itu dihitung dan benar jumlahnya 23, Abu Nawas lantas berpikir keras menemukan solusi dari masalah pelik tersebut. Tak lama kemudian, "Izinkan saya meminjam kambing baginda, seekor saja!" kata Abu Nawas.

"Nah, sekarang saatnya saya akan membagi kambing tersebut sesuai dengan porsi kalian saat perjanjian!" kata Abu Nawas setelah menambahkan kambing milik Harun al Rasyid. "Ahmad yang berhak memperoleh separuh kambing, maka boleh mengambil 12 ekor!"
"Sedangkan engkau Zulfikar yang memperoleh bagian sepertiganya, maka boleh mengambil delapan ekor!" kata Abu Nawas memerintahkan.
"Terakhir Zubair yang memperoleh bagian seperdelapannya, maka engkau berhak mengambil bagian 3 kambing. Sisa satu, karena saya tadi meminjam satu ekor kambing milik baginda, maka ini saya kembalikan lagi kambing tersebut."

Masing-masing telah mendapatkan bagiannya. Mereka pun berterima kasih dan kembali ke kediaman masing-masing. Perkara yang musykil itu akhirnya dapat ditemukan solusinya berkat kecerdasan Abu Nawas. Meskipun dalah hal ini ada yang dirugikan, namun mereka semua senang. AKhirnya Abu Nawas memperoleh hadiah uang emas dari Harun al Rasyid berkat kecerdikannya.

Jika dicermati, ada yang salah atau kurang pas dari pembagian kambing tersebut. Coba seberapa teliti kah kamu sehingga tahu letak kesalahannya!
  
Abu Nawas dan telur unta untuk obat Raja
 
Pada suatu hari, Baginda Harun al Rasyid merasakan sakit di seluruh anggota badannya. Untuk berjalan terasa berat hingga akhirnya ia memanggil tabib istana untuk mengobatinya, tapi ternyata hasilnya nihil. Lantaran tabib istana hingga tabib se-Kota Bagdad tak bisa mengobati, akhirnya ia membuat sayembara untuk para tabib agar bisa menyembuhkan penyakitnya. Barang siapa yang bisa mengobati penyakit Harun Al Rasyid akan diberi hadiah uang emas yang banyak.
Sayembara tersebut pun menyebar. Banyak para tabib yang akhirnya ambil bagian mengadu nasib untuk mengobati bagianda raja. Abu Nawas yang mendengar sayembara itu pun tertarik untuk mencobanya. Padahal ia sama sekali tak mempunyai kemampuan mengobati.

Hari yang ditunggu pun tiba. Abu Nawas menghadap Sultan untuk mencoba mengobatinya. "Hai Abu Nawas, rupanya engkau ikut pula dalam sayembara yang kuadakan ini!" kata Sultan.

"Benar, baginda," kata Abu Nawas.
"Apa kamu bisa mengobati penyakitku ini?" tanya Harun al Rasyid.
"Hamba akan mencobanya baginda. Hamba akan mencoba menerapkan cara-cara yang belum pernah dilakukan oleh tabib lainnya," jawab Abu Nawas meyakinkan.

Abu Nawas kemudian meminta baginda Harun al Rasyid untuk menerangkan penyakit apa yang diderita agar Abu Nawas bisa memberikan tindak lanjut. Baginda Harun al Rasyid pun menerangkan jika tubuhnya terasa nyeri, tangan dan kakinya terasa pegal-pegal. Setelah memeriksa, Abu Nawas tak langsung mengobati, ia meminta waktu 2 hari kepada baginda Harun al Rasyid untuk meramu resep obat terbaik.

Di bawah pohon yang rindang, ia terus berpikir resep untuk sang baginda. Maklum saja, ia bukan tabib sehingga ia pun bingung harus memberikan resep apa. Sambil duduk dan berpikir, dari kejauhan ia melihat seorang kakek tua yang masih sibuk sendirian memetik buah-buahan di kebun kurma. Abu Nawas yang heran langsung mendekati kakek tersebut.

Setelah bercakap-cakap dengan kakek tersebut, Abu Nawas mendapat jawaban jika kakek tersebut menjadikan aktivitas memetik buah sebagai kesibukan. Jika tak ada kesibukan, kakek tersebut malah merasa badannya pegal-pegal. Dari pertemuan itu, Abu Nawas menemukan penyebab sakitnya Harun al Rasyid.

Esok harinya, Abu Nawas menghadap baginda Harun al Rasyid. "Hai Abu Nawas, belum dua hari kau sudah menghadapku, mana obat untukku?" tanya Baginda Harun al Rasyid.

"Maaf hamba, baginda. Kali ini hamba datang belum membawa obat yang dapat baginda minum, sebab obat yang bisa sembuhkan baginda hanya telur unta. Baginda harus cari telur itu sendiri karena jika tak dicari sendiri, maka khasiatnya akan hilang," terang Abu Nawas.

"Kalau itu yang kau sarankan, baiklah aku akan segera mencarinya," jawab baginda.
Dengan sekuat tenaga Harun al Rasyid mencoba mencari telur unta di pasar. Para pedagang pun terheran. Bukankan unta itu beranak, bukan bertelur? Tapi mereka tak berani mengatakan hal itu sebab yang mencari baginda Raja. Setelah berkeliling kota dan tak menemukan satu pun penjual telur unta, Harun al Rasyid bertemu nenek tua yang menjelaskan jika unta tak bertelur tapi beranak. Ia lantas sadar jika ia baru dibohongi oleh Abu Nawas.

Sampai di kediaman, baginda Harun al Rasyid merasa kelelahan setelah perjuangan panjang mencari telur unta dengan berjalan. Ia pun akhirnya tertidur pulas karena capek yang diderita.

Esok harinya ia tampak segar bugar dan anehnya sakit yang diderita hilang. Ia lalu menyuruh para pengawal untuk meminta Abu Nawas menghadapnya. Tak lama kemudian Abu Nawas menghadap.

"Bagaimana baginda, apakah baginda telah menemukan telur unta yang hamba anjurkan?" tanya Abu Nawas setelah memberikan salam kedatangan.
"Rupanya engkau telah mempermainkanku, ya?" jawab bagianda dengan marah.
"Apa yang baginda maksud?"
"Engkau menyuruhku mencari telur unta, padahal unta tak bertelur, melainkan beranak," terang Bagianda Harun al Rasyid.

Abu Nawas kemudian menceritakan pertemuannya dengan kakek tua itu hingga memperoleh hikmah jika anggota badan yang tak pernah digerakkan akan membuat orang sakit. Pengalaman itulah yang ingin diterapkan Abu Nawas kepada bagindanya supaya ia tak hanya memerintah tetapi juga bergerak.

"Tentu saja baginda tidak akan menemukan telur unta, sebab tidak akan mungkin ada unta yang bertelur. Tapi bukankan baginda sekarang sudah merasa lebih enakan?" tanya Abu Nawas setelah memberikan penjelasan.
"Benar...! Apa yang kau katakan itu benar Abu Nawas," jawab Baginda yang tak lagi marah mendengar jawaban Abu Nawas. "Bahkan aku semalaman dapat tidur dengan pulas sekali."
"Kalau begitu, betul jika ada pepatah yang mengatakan, 'tidak ada kelezatan kecuali setelah kepayahan',"sahut Abu Nawas.
Mendengar hal itu, Harun al Rasyid pun tertawa dan geleng-geleng kepala atas kecerdikan Abu Nawas. Kisah ini diceritakan dalam karangan Abu Nawas dan Telur Unta karya Imam Musbikin.

Kejujuran Abu Nawas Diuji Jin

Abu Nawas dikenal juga karena kejujurannya, namun tak semuanya percaya begitu saja. Diantara yang tidak percaya dengan kejujuran Abu Nawas adalah kaum jin.

Abu Nawas selalu saja berhasil mematahkan teka-teki dengan sasaran yang tepat serta dapat diterima oleh akal. Sepak terjangnya yang demikian itulah membuat penasaran kaum jin dan ingin mengujinya.

Mereka para jin akhirnya sepakat untuk memberi pengujian kepada Abu Nawas, apakah benar-benar jujur atau tidak. Nah, apakah Abu Nawas lulus dalam uji kejujuran itu?
Dahulu Abu Nawas pernah bekerja sebagai tukang kayu di kampungnya. Dengan pekerjaannya tersebut, ia sering menebang kayu di hutan belantara. Dan karena ia teledor, kapak kesukaannya yang ia gunakan untuk menebang kayu malah jatuh masuk ke jurang yang sangat dalam letaknya.

Kejadian itu membuat Abu Nawas bersedih hati karena kapak itu adalah satu-satunya peralatan yag dipunyainya dan ia belum mempunyai pengganti.
Tanpa kapaknya, otomatis ia tidak bisa bekerja seperti biasanya.
Dalam perasaan yang sangat sedih itu, tiba-tiba datanglah jin yang menyamar menjadi seorang laki-laki berbaju putih. Jin itu datang dan menggoda Abu Nawas yang kondisinya mulai labil.

"Hai Abu Nawas, kenapa kamu kelihatan sediah sekali?" tanya jin.
"Iya,apak saya sebagai satu-satunya alat untuk bekerja telah jatuh ke jurang. Kalau begini, bagaimana saya bisa bekerja lagi?"jawab Abu Nawas sedih.
"Oh begitu, saya akan bantu untuk mengambilkannya untukmu," kata jin.
Tak berapa lama kemudian, sang jin pun turun ke bawah jurang. Ternyata jin tersebut memiliki keinginan untuk menguji kejujuran Abu Nawas yang sering didengarnya.

Terbersit di benak jin untuk memberikan kapak yang lain yang terbuat dari ems, apa reaksi Abu Nawas nantinya. 
Abu Nawas Selamat dari Amarah Istri
 
Tengah bulan sangat cocok untuk update kisah Abu Nawas kayaknya ini.   Abu Nawas mempunyai kebiasaan pulang larut malam dan hal itu sangat menjengkelkan istrinya. Sang istri pun akhirnya membuat rencana untuk memberikan hukuman kepada Wan Abu. Dan... Rencana terealisasi dengan sempurna, tapi anehnya Abu Nawas malah selamat dari rencana istrinya tersebut. Ternyata Abu Nawas Abu Nawas yang dipukuli istrinya itu merupakan seorang pencuri.
Ini Kisahnya

Diam-diam, ternyata Abu Nawas memiliki istri yang pencemburu. Pada saat Abu Nawas sering pulang larut malam, ia selalu marah-marah.

Pada suatu hari, Abu Nawas keluar rumah hingga larut malam. Hal itu membuat istrinya merasa gelisah dan emosi karena sudah berjam-jam menunggu di rumah. Ia pun tidak bisa tidur gara-gara Abu Nawas yang masih dalam tanda tanya. Bahkan istri Abu Nawas sudah menyiapkan suatu rencana untuk memarahi Abu Nawas ketika dia pulang nanti.

Waktu pun sudah menunjukkan larut malam, begitu gelap, namun Abu Nawas tetap saja tak kunjung kembali pulang. Tiba-tiba saja, dalam kondisi yang seperti itu, terdengar suara seperti orang yang hendak masuk dari jendela rumah yang terbuat dari kayu. Mendengar suara itu, istri Abu Nawas pun langsung siap siaga untuk melancarkan aksinya.  
Ia menuju jendela sambil memegang sepotong kayu berukuran lumayan besar. Ia berfikir bahwa Abu Nawas sengaja masuk rumah melalui jendela karena takut didamprat istrinya. Tak lama kemudian, masuklah seseorang melalui jendela yang ukurannya relatif kecil.

Dalam kondisi yang gelap, wajah orang tersebut tak kelihatan.
Akan tetapi istri Abu Nawas yang sudah tersulut emosinya langsung saja memukulkan kayu ke orang tadi. Ia memukul secara membabi buta hingga membuat orang yang dikiranya suaminya itu jatuh tak berdaya.

"Ampun... Ampun...," ujar orang tersebut.

Tentu saja karena pukulan yang membabi buta yang dilakukan istri Abunawas tersebut membuat orang tadi terkapar di lanatai. Istri Abu Nawas pun merasa sangat puas dengan tindakannya ini. Ia menganggap bahwa tindakannya setimpal atas kesalahan suaminya, si Abu Nawas.

"Ayo cepat bagun, lain kali jangan diulangi lagi dengan pulang larut malam," kata istri Abu Nawas dengan nada membentak.

Eiit...setelah ditunggu beberapa menit, orang tersebut tak juga bangkit-bangkit. Maka mulailah istri Abu Nawas menjadi penasaran. Dalam pencahayaan yang kurang, ia mencoba melihat dengan seksama orang yang dipukulnya tadi.

Betapa kagetnya istri Abu Nawas, ternyata orang itu bukan suaminya. Ia tak mengenali wajah orang yang dipukulinya. Dalam kondisi itu, istri Abu Nawas menyebut orang itu sebagai seorang pencuri dan berteriak dengan keras.

"Ada pencuri...tolong...toloong...," teriak istri Abu Nawas.

Kontan saja teriakan istri Abu Nawas tersebut membuat para warga berhamburan keluar untuk menangkap pencuri. Tak lama kemudian, beberapa warga pergi ke rumah Abu Nawas. Mereka lantas meringkus pencuri yang sudah tidak berdaya di lantai.
Para warga pun merasa kaget melihat kejadian itu. Ada seorang pencuri yang ditaklukkan oleh seorang wanita. Pencuri itu babak belur terkena pukulan dari istri Abu Nawas.

"Wah, hebat sekalai, pencuri ini sampai terbaring tak berdaya di lantai. Mungkin butuh berminggu-minggu agar bisa pulih kembali," kata salah satu warga.

"Maaf Pak, saya tak bermaksud menyakitinya, apalgi sampai separah itu. Hanya kekeliruan saja, Pak," kata istri Abu Nawas.
"Keliru bagaimana" tanya warga.
"Waktu itu, ia masuk melalui jendela dapur. Dan saya kira suami saya yang baru pulang berpesta dengan teman-temannya, makanya langsung saya gebuk," jelas istri Abu Nawas.

Tak berapa lama kemudian, Abu Nawas pun datang ditengah-tengah mereka.
Setelah mendengar cerita tentang seorang pencuri yang babak belur dihajar istrinya, ia pun tersenyum kecil dan bersyukur.

"Untung saja bukan saya yang dihajar, makanya jangan main pukul, beginalah akibatnya," kata Abu Nawas.

Namun demikian, Abu Nawas cukup bangga dengan keberanian istrinya yang sanggup melumpuhkan seorang pencuri.

"Wahai Abu Nawas, apakah ini kapakmu?" tanya jin.
"Bukan, kapak saya jelek kok," jawab Abu nawas.

Sesaat kemudian jin membnerikan kapak kedua yang terbuat dari perak. Namun Abu Nawas tetap saja tak mengakui.
"Bukan, bukan itu. Kapak saya sudah jelek kok!" tegasnya.

Mendengar jawaban seperti itu, sang jin menjadi senang karena ternyata Abu Nawas benar-benar seorang yang jujur.
"Hai Abu Nawas, kenapa kamu ini begitu jujur, apa tidak mau aku barang yang lebih baik?" tanya jin.

"Pak, sesungguhnya aku telah bersyukur pada apa yang aku miliki. Aku tidak ingin mendapatkan sesuatu yang bukan hakku. Bagiku, kapak yang jelek itu adalah milikku. Dengan kapak itulah aku bisa bekerja secara halal dan mendapatkan kayu untuk aku jual, "terang Abu Nawas.

"Rasa syukur?"tanya jin dengan heran.
"Ya, karena rasa syukur itulah yang membuatku tidak mau mengambil barang yang bukan hakku, "tegas Abunawas.
"Wahai Abu Nawas, karena rasa syukurmu itu, maka ketiga kapak ini aku berikan kepadamu,"kata jin.

Kemudian Abu Nawas pergi sambil membawa ketiga kapak itu. 
  
Sindiran Abu Nawas Kepada Pejabat Pemerintah

Pada suatu hari Abu Nawas mengajak berdebat seorang pejabat yang sombong. Dalam debat tersebut, dia berhasil mengalahkan pejabat itu sehingga sang pejabat malu dibuatnya.
Ini Kisahnya

Suatu ketika....Abunawas menerima undangan untuk sebuah jamuan makan malam. Dalam undangan tersebut, dia juga dimintai tolong untuk mengisi acara jamuan dengan tausyiahnya, ceramah agama.

Dari itu, Abu Nawas pun datang menghadiri undangan itu untuk menghormati dan menyenangkan tuan rumah. Namun, karena datangnya lebih awal, Abu Nawas pun dipersilahkan duduk di kursi bagian depan. Di kursi itu, Abu Nawas seakan-akan menjadi tamu yang terhormat.

Beberapa saat kemudian, para undangan yang lain pun hadir dan langsung menempati kursi-kursi yang disediakan. Kemudian, menyusul para pejabat kerajaan yang datang dan langsung menuju kursi yang paling depan. Akan tetapi, pejabat itu sangat terkejut karena kursi paling depan sudah diisi oleh Abu Nawas.

Mendapati kenyataan itu, pejabat tersebut langsung memprotes kepada panitia penyelenggara makan malam dengan keras.

"Kenapa saya yang lebih terhormat berada di belakang dan justru Abu Nawas itu berada di depan, "protes pejabat.
"Pertanyaan Bapak seharusnya ditanyakan langsung kepada Abu Nawas sendiri, "kata Abu Nawas.

Karena merasa psisinya disamakan dengan masyarakat yang lain, pejabat itu pun tidak terima. Ia berjalan ke depan menuju Abu Nawas dan berbisik bahwa yang pantas duduk di kursi itu adalah dirinya yang merupakan pejabat kerajaan terhormat.

"Wahai Abu Nawas, kamu tidak pantas duduk di sini, karena kursi depanseharusnya diisi oleh pejabat seperti saya, "tegas pejabat itu dengan congkaknya.

Mendapatkan tegoran somong dan merendahkan itu, Abu Nawas mulai angkat bicara. Maka terjadilah perdebatan sengit diantara mereka. Cukup menghebohkan untuk semua yang hadir di acara tersebut.

"Saudara pejabat yang terhormat, pada kenyataannya Anda itu tidak lebih dari seorang pesulap, "kata Abu Nawas dengan suara cukup lantang.
"Wah, tidak bisa begitu, saya adalah pejabat kerajaan, bukan pesulap, "cetus pejabat.

Semua tamu undangan yang hadir menjadi tegang.
Sebagian dari mereka ada yang berdiri untuk menyaksikan pedebatan itu dan berharap Abu Nawas mampu melumpuhkan sang pejabat yang terkenal sombong itu.

"Sekalipun saya adalah pesulap, tapi ketika naik panggung, saya bisa bertindak sesuai janji. Saat saya berjanji mengubah sapu tangan menjadi kelinci, maka bim salabim, sapu tangan itu benar-benar berubah menjadi kelinci, "terang Abu Nawas.
"Maksudmu bagaimana? Apa hubungannya?" tanya pejabaat.
"Anda saya katakan sebagai pesulap yang gagal karena Anda tidak bisa mengubah semua itu. Lihatlah, ketika naik panggung, Anda berjanji akan merubah nasib rakyat kecil menjadi lebih baik. Tapi, setelah terpilih menjadi pejabat, keadaan rakyat kecil sama saja seperti sebelum Anda menduduki jabatan itu, "jelas Abu Nawas.

Mendapatkan perkataan demikian, pejabat itu hanya bisa diam seribu bahasa dengan perasaan malu banget. Kepalanya pun hanya bisa tertunduk seakan tidak tahan dengan perkataan Abu Nawas yang telah memalukan dirinya di hadapan orang banyak.

"Nah, kalau begitu, mana yang lebih baik dan lebih pantas duduk di kursi paling depan, "tanya Abunawas denga penuh percaya diri.

Tanpa membalas sepatah kata pun, pejabat itu langsung kembali mundur, menempat kursi belakang dimana tempat dirinya duduk semula.

Clue:
Bukankah banyak  calon-calon pejabat yang cuma bisa janji-janji, tapi setelah terpilih, janjinya tidak ditepati.


dari berbagai sumber

0 Response to "Kumpulan Kisah Abu Nawas "