Ada statement menarik dari Ali Budiardjo, Direktur Utama Freeport saat
menyerahkan jabatannya kepada Usman Pamuntjak pada tahun 1985. Saat itu,
Ali mengatakan bahwa, “Yang paling mengesankan (berkerja) di Freeport
adalah proses Indonesianisasi”.
Ya, awalnya memang agak janggal mencerna kata ‘Indonesianisasi’ ini. Namun setelah melihat beberapa hal yang saya temukan dalam perjalanan ke Timika, baik ke lokasi tambang Erstberg dan Grasberg, kota Tembaga Pura hingga ke pemukiman karyawan Freeport di Kuala Kencana—statement Ali Budiardjo ini memang banyak benarnya.
Pertama tentu dari jabatan Direktur Utama PT Freeport Indonesia itu sendiri yang sejak beropeasi tahun1967, hanya membutuhkan tujuh tahun untuk menyerahkan pucuk pimpinannya kepada orang Indonesia.
Selanjutnya adalah budaya perusahaaan Freeport sendiri yang begitu kental adat ke-Indonesia-an nya. Paling sederhana adalah sapaan “pak” atau “bu” di dalam perusahaan itu sendiri. Tidak perduli orang Indonesia atau pekerja asing dari Filipina, Eropa bahkan Amerika—tetap menggunakan kata sapaan tersebut.
Saya sendiri sempat kecele saat sok akrab dan menyapa “Good morning, sir” dan dijawab “selamat pagi juga, pak” dengan senyum ramah dan lebar ala orang Jawa oleh seorang karyawan bule saat berada di Tembaga Pura.
Sepertinya, pesan keras Ali Budiardjo kepada karyawan bule atau Amerika untuk tetap berlaku sopan di kontrak karya ini masih mengakar kuat walau beliau sudah lama meninggalkan jabatan Dirut Freeport ini.
Lebih mengejutkan lagi saat awal Mei 2015 ini saya berkesempatan mengunjungi kota Kuala Kencana, sebuah kota satelit yang awalnya dibuat sebagai tempat pemukiman baru untuk karyawan Freeport. Dimana lokasi sebelunya, Tembaga Pura sudah begitu sesak dan tidak mencukupi dengan lonjakan jumlah karyawan barunya.
Walau dari beberapa cerita dari mulut ke mulut jika kota Kuala Kencana ini dianggap sangat mewah dan ekslusif, setidaknya harus lapor dan meninggalkan KTP bagi yang tidak membawa ID card karyawan Freeport atau penduduk Kuala Kencana—saya rasa itu masih dalam taraf wajar. Toh, di Jakarta atau kota-kota besar lainnya juga menerapkan standar keamanan serupa pada jenis perumahan cluster atau apartemen.
Apalagi saat saya berada di Kuala Kencana, aturan ini berlaku untuk semua orang. Karyawan Freeport sendiri juga wajib “menyapa” satpam komplek sambil menunjukan tanda pengenalnya.
Walau sempat juga saya kebingungan saat melihat deretan angkot berwarna biru muda, senada warnanya dengan angkot jurusan Kota – Tanjung Priok di dekat alun-alun kota. Saya kurang paham apakah sopir angkotnya juga wajib menyapa satpam di posnya?
Nah, alun-alun kota Kuala Kencana inilah yang sebenarnya sangat memancing keingintahuan saya. Dari berbagai macam referensi, saya mendapat beberapa petunjuk yang menarik.
Selain konsep EcoLiving yang berbasis lingkungan, ada
sebuah alun-alun besar ala Jawa dengan bentuk persegi panjang dengan
sisi barat terdapat sebuah masjid bernama Masjid Baitur Rahim dan sisi
sebelah timur terdapat Gereja Betlehem yang berbentuk mirip rumah Honei.
Sejarah pembuatan alun-alun ini pun juga tidak sesederhana saat sudah jadi kota baru ini. Saat itu, Abdul Rauf Soehoed—seorang mantan menteri yang juga dewan komisaris Freeport mendapat mandat untuk mampu menerjemahkan konsep “meng-Indonesiakan” Freeport nya Ali Budiardjo sempat berpindah pindah lokasi untuk menemukan lokasi terbaik.
Awalnya, dilakukan survey kepada karyawan freeport tentang bagaimana keinginan mereka terhadap sebuah kota/perumahan idaman. Data-data yang dikumpulkan ini akhirnya di sebut sebagai ‘Laporan Hay”.
Kemudian, menindak lanjuti laporan Hay ini, sekitar tahun 1993 sempat akan dibangun di Mile 50, sebuah lokasi yang hanya membutuhkan waktu 20 – 30 menit dari Tembagapura atau daerah tambang. Namun sayangnya, saat uju kelayakan tanah, area ini sangat labil dan lemah untuk pondasi bangunan serta jalannya.
Setelah itu, diputuskan dibangun di area Mile 32 yang dekat dengan kawasan SP (Satuan Penduduk) Transmigrasi dari Jawa yang sudah ada sejak tahun 1990.
Awal pembangunan kota baru yang konstruksinya mulai digelar tahun 1996 ini pun sempat muncul masalah lain. Di sini sempat mendadak muncul jalanan dan hilir mudik truk pembawa kayu. Ternyata, walau dari data tidak ada peruntukan lahan, perusahaan kayu lapis ini mempunyai ijin untuk melakukan penebangan pohon untuk bahan baku industrinya.
Mengingat rencana konsep perumahan yang “Indonesia”, tentu keberadaan hutan tropis sangat terkait—pihak Freeport meminta penebangan tersebut dihentikan. Setelah berunding, pihak perusahaan kayu lapis bersedia menghentkan penebangan pohon tersebut dengan biaya ganti rugi produksi yang saat itu senilai $ 5 juta.
Setelah proses perundingan dan ganti rugi selesai, mulailah pengukuran topografi yang sangat mendetail sampai ketelitian 1 kaki (30 cm). Penempatan bangunan tidak boleh menimbulkan genangan air, mengingat lokasi ini sangat rentan dengan keberadaan sarang nyamuk Malaria.
Detail seperti ini juga bertujuan untuk menegaskan bahwa keserasian lingkungan dan kesadaran bahwa yang hendak dibangun adalah benar-benar sebuah kota Indonesia, bukan Amerika.
Dalam pembuatan alun-alun, awalnya AR Soehoed menginginkan ukurannya adalah 300×300 meter. Namun sempat dianggap terlalu lebar dan setelah berdiskusi, diputuskan ukuran lebarnya adalah 200×200 meter. Di tengahnya dipasang sebuah tugu karya pematung Nyoman Nuarta yang menggambarkan kelima sila Pancasila.
Dan menakjubkannya, ternyata alun-alun yang dibelah dua silang jalan ini—jika diukur dari tugu menuju arah masjid Baitur Rahim tidak tepat menunjuk arah Barat 225 derajat kompas.
Ketidak tepatan ini sepertinya memang disengaja oleh pak Soehoed. Garis belah alun-alun di geser sedikit ke utara menuju derajat 291,04. Artinya, garis belah alun-alun dan masjid tepat mengarah ke kiblat atau ka’bah yang berada di Mekah.
Awalnya saya mendapat data ini setelah mengecek dari aplikasi Google Maps dan kemudian saya uji sendiri ke lokasi dan dokumentasikan langsung dengan video. Ketepatan ini tentu menjadi hal menarik jika dibanding dengan banyaknya informasi mengenai melesetnya arah kiblat masjid-masjid di pulau Jawa.
Hal yang memudahkan dan menghilangkan keraguan jemaaah masjid Baitur Rahim yang berkapasitas 2000 orang ini dalam menjalankan ibadah sholatnya. Tidak perlu menggeserkan sajadahnya sedikit kearah utara agar tepat menghadap baitullah di tanah suci Mekkah al Mukaramah.
sumber
Ya, awalnya memang agak janggal mencerna kata ‘Indonesianisasi’ ini. Namun setelah melihat beberapa hal yang saya temukan dalam perjalanan ke Timika, baik ke lokasi tambang Erstberg dan Grasberg, kota Tembaga Pura hingga ke pemukiman karyawan Freeport di Kuala Kencana—statement Ali Budiardjo ini memang banyak benarnya.
Pertama tentu dari jabatan Direktur Utama PT Freeport Indonesia itu sendiri yang sejak beropeasi tahun1967, hanya membutuhkan tujuh tahun untuk menyerahkan pucuk pimpinannya kepada orang Indonesia.
Selanjutnya adalah budaya perusahaaan Freeport sendiri yang begitu kental adat ke-Indonesia-an nya. Paling sederhana adalah sapaan “pak” atau “bu” di dalam perusahaan itu sendiri. Tidak perduli orang Indonesia atau pekerja asing dari Filipina, Eropa bahkan Amerika—tetap menggunakan kata sapaan tersebut.
Saya sendiri sempat kecele saat sok akrab dan menyapa “Good morning, sir” dan dijawab “selamat pagi juga, pak” dengan senyum ramah dan lebar ala orang Jawa oleh seorang karyawan bule saat berada di Tembaga Pura.
Sepertinya, pesan keras Ali Budiardjo kepada karyawan bule atau Amerika untuk tetap berlaku sopan di kontrak karya ini masih mengakar kuat walau beliau sudah lama meninggalkan jabatan Dirut Freeport ini.
Lebih mengejutkan lagi saat awal Mei 2015 ini saya berkesempatan mengunjungi kota Kuala Kencana, sebuah kota satelit yang awalnya dibuat sebagai tempat pemukiman baru untuk karyawan Freeport. Dimana lokasi sebelunya, Tembaga Pura sudah begitu sesak dan tidak mencukupi dengan lonjakan jumlah karyawan barunya.
Walau dari beberapa cerita dari mulut ke mulut jika kota Kuala Kencana ini dianggap sangat mewah dan ekslusif, setidaknya harus lapor dan meninggalkan KTP bagi yang tidak membawa ID card karyawan Freeport atau penduduk Kuala Kencana—saya rasa itu masih dalam taraf wajar. Toh, di Jakarta atau kota-kota besar lainnya juga menerapkan standar keamanan serupa pada jenis perumahan cluster atau apartemen.
Apalagi saat saya berada di Kuala Kencana, aturan ini berlaku untuk semua orang. Karyawan Freeport sendiri juga wajib “menyapa” satpam komplek sambil menunjukan tanda pengenalnya.
Walau sempat juga saya kebingungan saat melihat deretan angkot berwarna biru muda, senada warnanya dengan angkot jurusan Kota – Tanjung Priok di dekat alun-alun kota. Saya kurang paham apakah sopir angkotnya juga wajib menyapa satpam di posnya?
Nah, alun-alun kota Kuala Kencana inilah yang sebenarnya sangat memancing keingintahuan saya. Dari berbagai macam referensi, saya mendapat beberapa petunjuk yang menarik.
Sejarah pembuatan alun-alun ini pun juga tidak sesederhana saat sudah jadi kota baru ini. Saat itu, Abdul Rauf Soehoed—seorang mantan menteri yang juga dewan komisaris Freeport mendapat mandat untuk mampu menerjemahkan konsep “meng-Indonesiakan” Freeport nya Ali Budiardjo sempat berpindah pindah lokasi untuk menemukan lokasi terbaik.
Awalnya, dilakukan survey kepada karyawan freeport tentang bagaimana keinginan mereka terhadap sebuah kota/perumahan idaman. Data-data yang dikumpulkan ini akhirnya di sebut sebagai ‘Laporan Hay”.
Kemudian, menindak lanjuti laporan Hay ini, sekitar tahun 1993 sempat akan dibangun di Mile 50, sebuah lokasi yang hanya membutuhkan waktu 20 – 30 menit dari Tembagapura atau daerah tambang. Namun sayangnya, saat uju kelayakan tanah, area ini sangat labil dan lemah untuk pondasi bangunan serta jalannya.
Setelah itu, diputuskan dibangun di area Mile 32 yang dekat dengan kawasan SP (Satuan Penduduk) Transmigrasi dari Jawa yang sudah ada sejak tahun 1990.
Awal pembangunan kota baru yang konstruksinya mulai digelar tahun 1996 ini pun sempat muncul masalah lain. Di sini sempat mendadak muncul jalanan dan hilir mudik truk pembawa kayu. Ternyata, walau dari data tidak ada peruntukan lahan, perusahaan kayu lapis ini mempunyai ijin untuk melakukan penebangan pohon untuk bahan baku industrinya.
Mengingat rencana konsep perumahan yang “Indonesia”, tentu keberadaan hutan tropis sangat terkait—pihak Freeport meminta penebangan tersebut dihentikan. Setelah berunding, pihak perusahaan kayu lapis bersedia menghentkan penebangan pohon tersebut dengan biaya ganti rugi produksi yang saat itu senilai $ 5 juta.
Setelah proses perundingan dan ganti rugi selesai, mulailah pengukuran topografi yang sangat mendetail sampai ketelitian 1 kaki (30 cm). Penempatan bangunan tidak boleh menimbulkan genangan air, mengingat lokasi ini sangat rentan dengan keberadaan sarang nyamuk Malaria.
Detail seperti ini juga bertujuan untuk menegaskan bahwa keserasian lingkungan dan kesadaran bahwa yang hendak dibangun adalah benar-benar sebuah kota Indonesia, bukan Amerika.
Dalam pembuatan alun-alun, awalnya AR Soehoed menginginkan ukurannya adalah 300×300 meter. Namun sempat dianggap terlalu lebar dan setelah berdiskusi, diputuskan ukuran lebarnya adalah 200×200 meter. Di tengahnya dipasang sebuah tugu karya pematung Nyoman Nuarta yang menggambarkan kelima sila Pancasila.
Dan menakjubkannya, ternyata alun-alun yang dibelah dua silang jalan ini—jika diukur dari tugu menuju arah masjid Baitur Rahim tidak tepat menunjuk arah Barat 225 derajat kompas.
Ketidak tepatan ini sepertinya memang disengaja oleh pak Soehoed. Garis belah alun-alun di geser sedikit ke utara menuju derajat 291,04. Artinya, garis belah alun-alun dan masjid tepat mengarah ke kiblat atau ka’bah yang berada di Mekah.
Awalnya saya mendapat data ini setelah mengecek dari aplikasi Google Maps dan kemudian saya uji sendiri ke lokasi dan dokumentasikan langsung dengan video. Ketepatan ini tentu menjadi hal menarik jika dibanding dengan banyaknya informasi mengenai melesetnya arah kiblat masjid-masjid di pulau Jawa.
Hal yang memudahkan dan menghilangkan keraguan jemaaah masjid Baitur Rahim yang berkapasitas 2000 orang ini dalam menjalankan ibadah sholatnya. Tidak perlu menggeserkan sajadahnya sedikit kearah utara agar tepat menghadap baitullah di tanah suci Mekkah al Mukaramah.
sumber
0 Response to "Bukti Kehebatan Arsitek Indonesia! Alun-alun Kota Kuala Kencana "
Post a Comment