Saya
temukan sosok ideal pegawai pajak pada mendiang suami saya. Hanya Allah
pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang hampir sempurna
bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya. Ia terlahir dari
keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami biasa
memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman kantornya
memanggilnya Najib –atau Pak Najib.
Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati kami.
Dafi Muhammad Faruq, putra, umur enam
tahun, kini kelas satu SD. Adiknya, dua putri cantik kami, Kayyisah
Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan Mazaya Hasina Najib, tiga bulan.
Ketika Abang mangkat pada 21 Februari 2011, si bungsu masih dalam
kandungan empat bulan. Meski telah pergi, Abang mendidik saya menjadi
orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi long distance, saya memilih
homebase di Kota Kembang demi pendidikan anak anak. Dengan bekal ilmu
agama yang Almarhum berikan, sekarang saya menjadi tahu apa itu arti
syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah yang membuat saya harus bangkit
menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa
“banyak godaannya”. Abang memberikan pengertian pada saya bahwa materi
yang identik melekat dengan pegawai Pajak, jangan menjadi patokan
kebahagiaan dan kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak bermateri
(saat itu saya tidak mengerti apa maksudnya).
Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan
puncak kegundahannya. Setelah bekerja selama satu dekade , kebimbangan
itu pun terucap, “Bunda, Ayah takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga
ini dengan halal?” ia bertanya kepada saya. Banyak pandangan negatif
terhadap pegawai Pajak saat itu –bahkan hingga kini. Saya bekerja di
satu bank BUMN. Banyak nasabah dan teman seprofesi yang “curhat” tentang
tindak-tanduk pegawai Pajak dan betapa ribetnya mengurus pajak –waktu
itu, sebelum modern.
Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada
pegawai pelaksana yang punya rumah dan mobil mewah. Abang seorang
kepala seksi, dan kondisi itu yang membuat Abang sering memberi
pengertian pada saya. Sebagai seorang istri pegawai Pajak, saya harus
hidup sederhana dengan gaji sebagai PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan
mempengaruhi suami untuk mendapatkan sesuatu yang tidak halal,” Abang
memberi nasihat.
Apa gaji yang ayah terima ini halal?”
kembali ia gusar. “Nafkahilah keluarga ini dengan keringatmu. Bun
percaya, Ayah akan memberikan yang terbaik untuk kami,” jawab saya.
Kira kira bagaimana jika Ayah keluar
saja? Jadi guru ngaji,” tuturnya membulatkan tekad. Matanya berlinang.
Saya pun ikut menangis saat itu.
Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi
lebih baik? Kalau Ayah mundur sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah
harus mengubah kebiasaan itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk
bisa berubah. Ayah pasti bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu
itu.
Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu
akhirnya terjawab dengan modernisasi dan reformasi birokrasi DJP. Pada
2006, sampailah juga gelombang kantor modern di Jawa Tengah –waktu itu
Abang dinas di Pekalongan.
Abang orang yang sangat sabar, tenang,
tak banyak bicara. Malah terkadang tanpa ekspresi. Namun dalam diamnya,
saya tahu ia tak diam. Selama kami bersama, belum pernah ia marah
sekalipun. Ia laki-laki yang hangat dan update –selalu tahu semua hal.
Diajak segala macam diskusi, pasti langsung nyambung apapun topiknya,
apalagi soal agama. Keseimbangan itu yang kami teladani di rumah. Ia
orang yang ngocol, kadang jail dan sangat romantis. Dengan gitar
kesayangan, ia sering bernyanyi bersama anak-anak dengan kekonyolannya,
melucu sampai tertawa terbahak-bahak. Itu semua momen yang kami
rindukan.
Salah satu lagu pengantar tidur anak-anak
yang sering dinyanyikan, “Demi masa, sesungguhnya manusia
kerugian,melainkan yang beriman dan yang beramal sholeh, ingat lima
perkara sebelum lima perkara, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua,
kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati…”
Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak
diragukan. Saya acungi jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil
enam bulan anak pertama. Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia
masih bekerja larut hingga hampir pingsan di sebuah klinik di
Pekalongan. Opname yang dianjurkan dokter tak dihiraukannya. Saat itu
hari-hari akhir penerimaan SPT wajib pajak. Operasi “tembak” adalah
solusi yang kami pilih karena bisa lebih cepat pulih dan tidak usah
dilakukan pembedahan. Saran dokter, opname selama dua minggu. Namun,
bedrest hanya bertahan tiga hari. Kala itu belum ada mesin absen
fingerprint. Masih serba manual dengan tanda tangan. “Titip absen saja,
kenapa?” saya saking kesalnya memberi saran. “Lagi sakit kok mikirin
kerjaan, gimana bisa orang sakit kerjanya maksimal?”
Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan
saya. Alhasil, dengan keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit
itu ujian dari Allah. Harus kita nikmati,dan jangan mengeluh,” jawabnya
simpel.
Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui
dengan baik. Lalu, Abang mutasi ke Palembang. Satu sisi lebih jauh
dengan kami. Tapi di sisi lain, lebih dekat dengan kampung halamannya.
Alhamdulillah, Agustus 2010, kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor
Pelayanan Pajak BUMN, kantor pajak dengan penerimaan terbesar, yang
perlu effort lebih tentunya. Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah
yang Abang ambil adalah yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta –mertua
saya– mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”.
Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam setiap
memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai tergoda
dengan duniawi ya.”
Kenapa suamimu gak minta pindah di
Bandung saja? Kan bisa lewat Si Anu. Yah, minimal setor satu Kijang
lah,” salah satu teman saya yang suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi.
Saya tak tahu maksud ucapannya, apakah ia bercanda atau serius.
Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum
saat saya ceritakan hal itu. “Sudah, gak usah dipikir. Allah punya
rencana yang lebih indah untuk kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang
Pajak sudah modern udah gak perlu kayak gitu lagi kok. Yang penting
kerja kita bagus. Apapun yang kita lakukan karena Allah. Malah jadi
ibadah kan?”
Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini
mengecewakan banyak pihak yang telah bekerja keras. Di satu sisi justru
suami saya senang. “Pada akhirnya, biarlah yang benar yang akan menang,”
tuturnya. Di sisi lain, kita harus membuktikan bahwa tidak semua orang
Pajak seperti Gayus. “Orang Pajak sekarang beda dengan yang dulu. Sudah
modern, sudah tidak ada lagi ‘kebiasaan’ Itu,” tuturnya yakin. Secara
tidak langsung saya pun ikut menjadi “jubir” bagi teman-teman di
lingkungan saya.
Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin
perfeksionis. Ia ingin segala hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak
mau meninggalkan cela pada pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah
bila harus menyetrika bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang
lebih puas dengan hasil setrika sendiri.
Februari 2011, Abang mengemban amanat,
jadi satu anggota tim yang menyusun sebuah buku coaching di Kantor
Pusat. Ia siap mengutarakan sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program
itu. Sayang, dalam perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong
takdirnya. Satu titik dalam sebuah periode yang mengubah total
kehidupan saya dan anak-anak.
Dua kali kami tertunda berangkat haji.
Pada akhir 2008, kami sudah siap. Namun, Abang mengalami kecelakaan
dalam perjalanan pulang tugas dari Palembang menuju Jambi. Tabungan kami
untuk Ongkos Naik Haji pun akhirnya terpakai untuk biaya mengganti
mobil dinas Livina yang ringsek. Abang tak mau memanfaatkan fasilitas
asuransi kendaraan kantor. Dia memilih bertanggung jawab sendiri. Uang
bisa dicari, mungkin Allah belum berkehendak. Yang penting Abang
selamat. Tahun 2009 pun kami lewatkan. Maklum, masih belum cukup biaya
untuk melunasi. Hingga akhirnya, 2010, saya mantap naik haji.
Berapapun biayanya. Apapun kendalanya.
Saya berdoa, “Mudahkan ya Allah, kami ingin beribadah.”Alhamdulillah,
ada jalan walaupun kami harus memanfaatkan pinjaman kantor saya. Itupun
Abang masih ragu, “Bunda, apakah ini hak kita?” tanya Abang. Padahal,
dengan gajinya sekarang, mungkin Abang bisa saja langsung melunasi ONH.
Namun tidak demikian. Abang masih bersikeras dengan alasannya.
Alhamdulillah akhirnya saya dapat memantapkan hati Abang. Dengan
izin-Nya, kami bisa melunasi ONH dari hasil tabungan gaji pokok PNS,
bonus, dan sedikit tambahan pinjaman. November, tiga bulan sebelum
kehilangannya, berangkatlah kami berdua.
Sepertinya Allah sudah menyusun rencana
dengan sangat indah. Empat puluh hari saya bersamanya di tanah suci
adalah waktu yang sangat indah dan tak dapat saya lupakan. Selama kami
berumah tangga dari awal menikah, kami belum bisa kumpul bersama. Saat
itulah saya merasakan indahnya kebersamaan yang tak ingin terpisahkan.
Sempurna rasanya sebagai istri yang bisa melayani dan mengurus suami.
Begitupun Abang. Ia menunjukka keceriaan yang tak pernah saya lihat
sebelumnya. Abang adalah tipe orang yang sangat perhatian dan romantis.
Satu kali kami hendak salat dan saya berdiri di samping belakangnya.
“Bunda salatlah di saf (barisan) perempuan.” “Tapi, Ayah… Bunda
sendirian.” kebetulan saat itu suasana padat sekali di Masjidil Haram.
Saya sempat mengelak.
Berjihadlah, ayah bertanggung jawab
mendidik Bunda dan anak-anak.” Sedih rasanya mendengar jawaban itu.
“Bunda harus terbiasa sendiri,” sambung Abang.
Kenapa, Yah?”
Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
Kenapa, Yah?”
Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
Ada Allah yang menjaga anak-anak,”
Senyumnya membuat hati saya merasa tenang dan yakin. Ternyata ini
pesantren yang Allah berikan lewat ilmu agama yang baik dari Abang. Saya
dapat pengetahuan banyak.Terima kasih ya Rabb, Kau telah memberikan
kesempatan untuk kami dapat beribadah bersama. Sungguh, momen itu tak
mungkin bisa terlupakan. Banyak nikmat yang kami terima sampai kami tiba
ke tanah air dengan selamat. Hadiah terindah dari Tanah Suci, saya
positif hamil.
Beberapa peristiwa merupakan pertanda
yang tak saya sadari. Tanggal 9 Februari 2011, dua pekan sebelum hari
celaka itu, kami nonton teve bareng. Ada berita tentang selebritis yang
jadi politisi kehilangan suaminya –yang juga artis cuma anggota Dewan.
Sang istri menangis mengelus-elus nisan suami. “Kalau Bunda seperti itu
gimana, ya Yah? Anak-anak masih kecil…” spontan saya nyeletuk dengan
maksud bercanda.
Entah kenapa rasa humor yang seperti
biasanya, hilang tergantikan dengan tausyiah. “Itu yang tidak boleh,”
tuturnya tenang, “menangis, meratapi di pusara tidak baik. Yang
diperlukan orang yang telah meninggal adalah doa dari yang masih hidup,
bukan bunga yang wangi atau nisan yang indah. Saat Nabi Muhammad
ditinggal istri tercinta Khadijah pun beliau merasakan kehilangan dan
hanya berkabung tiga hari. Boleh menangis, asal jangan meratap.”
Hidup di dunia hanya sementara, justru
hidup setelahnya yang akan kekal. Perbanyaklah bekal untuk di akhirat.
Tiada daya upaya manusia untuk mencegah bila Allah telah berkehendak
untuk mengambil nyawa manusia. Jangan takut, Allah lebih dekat dari urat
nadi kita. Banyak baca buku tentang agama, yah Bun. Biar tambah banyak
ilmunya.”
Dengan senyuman khas yang menenangkan,
Abang tak pernah seperti sedang mengajari bila ia sedang berbagi ilmu.
Abang berujar, “Tolong jaga anak-anak. Didik agamanya dengan baik.
Istikamahlah karena bila agamanya kuat dan takut kepada Allah, dia bisa
menghadapi dunia dengan ilmu. Bukan dengan harta dan ingat Allah selalu
tahu apa yang kita perbuat.”
Semenjak pulang ziarah, Abang
memperlakukan saya begitu istimewa. Mungkin karena saya sedang hamil.
Saya begitu dimanjanya. Hingga Minggu malam itu (20/2)… Kehamilan dua
anak sebelumnya, Abang tak pernah menuruti keinginan saya, sekalipun
merajuk jika meminta sesuatu. Tapi malam itu… “Kita makan di luar yuk.
Bunda pasti pengen apa deh. Kan lagi hamil muda. Ayo lagi kepengen apa?”
ujarnya setengah memaksa untuk pergi. Akhirnya kami pergi makan di
sebuah resto ikan bakar favoritnya. Karena lama tugas di Makassar,
kuliner ikan wajib sebulan sekali buat kami. Abang memesan menu lebih
banyak dari biasanya. Alasannya, bisa dibungkus untuk sahur.
Alhamdulillah, Senin-Kamis tak pernah terlewatkan untuk puasa sunah. Apa
ini yang disebut pertanda? Hendak berangkat ke resto, kami mendapati
ban mobil kempes. “Bersyukur, Bunda. Kita keluar rumah nih. Ban kempes,
kalo ketahuannya besok pagi, bisa-bisa Ayah kesiangan rapat di Kantor
Pusat. Ayah yang menyiapkan ide, masak terlambat? Gak enak dong.”Lagi
lagi dengan senyumanya.
Tengah malam, Kayyisah panas dan muntah.
Rewel sekali. “Dede (panggilan Kayyisah) pengen tidur sama Ayah aja….
Pengen dipeluk Ayah… aku sayang Ayah. Ayah gak boleh kerja,” rengeknya.
Abang pun membuka baju, dan memeluk Dede. Dan Alhamdulillah panasnya
reda. Dede pun terlelap.
Pukul setengah tiga dini hari, kami
bangun salat tahajud. Biasanya, kami selalu berjamaah. Setelah berdoa,
kami berpelukan, saling meminta maaf. Ritual itu tak pernah absen kami
lakukan sehabis salat. Tapi kali ini Abang minta salat sendirian. “Kita
pisah yah. Ayah mau memperbanyak salat tahajudnya.”
“Kenapa?” pertanyaan itu mestinya saya ungkapkan. Tapi tertahan di hati saja.
Ikan bakar yang seharusnya jadi menu
sahur tak Abang sentuh. Malah, Abang meminta buah. “Bun, tahu gak
buah-buahan itu makanan di surga. Jadi Ayah cukup sahur dengan apel
aja.” Saya tak bertanya, dua minggu terakhir ini Abang bertausyiah
tentang kematian terus. Keanehan yang lain, Abang menitipkan Dede sama
Mbak (pengasuh anak kami) berulang-ulang
Tak seperti biasanya, Bapak nyuruh jagain
Dede berulang gitu. Kok kaya mau kemana aja,” ujar Mbak kepada saya.
Jam 03.30 pagi. Saya dan Dafi mengantarnya hingga ke pool travel Xtrans
di Metro Trade Center. Keanehan yang lain terjadi lagi. Abang tak mau
memandang saya. Seperti orang yang sangat sedih mau pergi. “Ayah mau
salat di mobil saja. Bun, hati-hati ya. Titip anak-anak,” itu kalimat
terakhirnya. Biasanya Abang minta berhenti di rest area guna salat
subuh.
Tepat pukul 04.30. Ring tone hape yang
sengaja saya bedakan berbunyi. Abang menelepon saya. Sayang, tak sempat
saya angkat karena rasa kantuk. Kami begadang karena Dede rewel
semalaman. Seandainya saja saya bisa angkat telepon itu, mungkin saya
bisa mendengar suaranya yang terakhir kali…
Pukul 04:35. Menurut catatan kronologis
Jasa Marga, peristiwa di Tol Cipularang Jalur B Km 100 itu terjadi.
Tabrakan karambol yang melibatkan satu truk, minibus travel, dan sebuah
mobil, menewaskan tiga orang. Semuanya penumpang travel. Abang
meninggalkan kami dalam keadaan puasa. Dan mungkin tengah mendirikan
salat subuh. Dalam perjalanan memenuhi tugas.
Di mata saya, Abang wafat dalam jihad. Wallahualam –Tuhan yang punya ketentuan.
Allah punya kehendak lain. Allah lebih
mencintai Abang daripada kami. Dia lebih berhak atas Abang daripada
kami. Ajal, jodoh, dan rejeki hanya Allah yang tahu kapan dan di mana.
Takkan pernah ada yang bisa menghalangi atau pun tertukar. Bila Allah
telah berkehendak, tak ada yang mampu menahannya. Allah memberi
kesempatan untuk saya agar lebih dekat dan banyak beribadah lagi.
Insyaallah ini menjadi ladang ibadah.
Menyangkut kejadian ini, jangan ditanya
rasa sedih. Yang saya rasakan hingga saat ini, air mata sepertinya tak
bisa kompromi, seakan mendesak keluar, jika mengingatnya. Namun, saya
ingat pesan almarhum. Saya tak boleh larut dipermainkan pikiran
“seandainya-seandainya”. Itu semua sudah kehendak-Nya. Tak kurang dan
tak lebih. Sudah begitu adanya. Hanya doa saya dan anakanak yang bisa
kami berikan untuk kekasih kami… Ismail Najib.
Belakangan saya mengetahui bahwa di
perjalanan, Abang sempat berkirim posting pada sebuah grup teman kerja
di Blackberry. Itu posting terakhirnya.
* * Feb 21 Mon 04:04 * *
Najib:
Dengar suara adzan selalu tdk dihiraukan atau nanti sajalah
Dengar suara adzan selalu tdk dihiraukan atau nanti sajalah
Tp dengar suara HP woow .!! :p
Lgsung segera diambil,
Astgfirullahal’adzm. . : (
Baca Al-qur’an
Seperti orang mengeja
Tapi kalo baca bbm Buseett lancarnya,.:$
Astagfirullahal’adzm. .
Beli pulsa siapa takut !
tp kalo sedekah katanya kantong lg sekarat
Astagfirullahal’adzm. .
Pegang tasbih 1x dlm sethun
tp pegang HP dibawa selalu, walau tidur sekalipun.
Astagfirullahal’adzm. .
sama2 Insyaf yuuukk.!!! :p
Ada baiknya bbm ini disebarkan, mumpung grtisan, dan qm
pun mendapat pahala karna
saling mengingtkan sesama
* * *
Sabtu (19/2), dua hari sebelum kejadian,
kami kontrol kandungan. Usia kandungan menginjak bulan keempat.
Keinginan Abang untuk dikaruniai anak kembar putri membuat dokter Sofi
geli dibuatnya. Tak seperti biasanya, dia ngebet ingin tahu apa jenis
kelaminnya. “Perempuan atau laki-laki, Dok? Satu apa kembar Dok?”
Bapak mau ke mana sih? Kayak mau pergi
jauh aja. Banyak banget nanyanya. Masih empat bulan nih…”kata Dokter
bercanda. “Pengen tahu, apakah doa saya makbul atau gak.” Setelah cek,
diketahui calon anak kami rupanya perempuan. Tapi, “bukan kembar,” tutur
Dokter. “Gak apa-apa. Tahun depan bikin lagi yah Bun,” jawabnya sambil
melirik saya.
“Enak aja,” sahut saya bercanda. Rasa
gembiranya tak bisa ditutupi. “Ayah makin semangat kerja nih,” ujarnya,
masih dengan senyuman mautnya.
Sebulan kemudian, saya kembali kontrol.
Kali ini… sendirian. Juga untuk lima bulan ke depan hingga melahirkan.
Dan bertekad membesarkan anak anak saya sendiri. Ini masa yang sulit
untuk saya bisa melaluinya. Kesedihan selalu saya tutupi. Dalam keadaan
hamil besar sendiri tanpa suami. Betapa sesak rasanya, ujian ini begitu
berat pikir saya. Terpuruknya saya seperti hilang separuh nyawa. Tapi
rasa sayang pada Almarhum membuat saya bertekad harus bisa dan kuat!
Satu lagi yang membuat saya bangga, Abang
tak pernah absen salat berjamaah di masjid. Sampaisampai di kompleks
masjid kami, Al-Hasan, Abang disebut “Pak Ustad”. Para jamaah sudah tahu
kebiasaan Abang : paling lama berdoa setelah salat.
* * *
Bagaimana caranya? Apa saya sanggup
membesarkan tiga orang anak ini? Menjaga dan mendidik mereka seperti
wasiat Almarhum? Dan ternyata, perkataan Abang benar, “Allah yang
menjaga.” Ini yang membuat kami bangkit menjalani kehidupan selanjutnya.
Saya bersyukur, Abang mengajarkan “ilmu ikhlas”. Masih banyak ilmu yang
diberikannya yang baru saya mengerti sekarang sepeninggal Almarhum .
Ternyata keikhlasan berbalas pertolongan dari arah yang tak disangka.
Saya sempat down sewaktu mengurus segala
sesuatu terkait hak suami saya. Sangat ribet. Banyak dokumen yang perlu
dilengkapi. Proses di Kelurahan dan instansi lain cukup berbelit. Saya
dihadapkan pada birokrasi yang sangat panjang tanpa kejelasan prosedur.
Namun rupanya banyak uluran tangan yang membantu. Allah memberikan jalan
kemudahan bila kita berpasrah dan ikhtiar. Saya bersyukur karena masih
bisa bekerja. Kini, sayalah yang harus mencari nafkah demi anak-anak.
Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dengan keadaan istri yang sama
dengan saya dan tidak bekerja?
Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman seangkatan Abang (Mas Pank dan Mbak Tri).
Teman sepaguyuban telah banyak membantu
dan memberikan support (baca boks “Pak Najib di Mata Mereka” –peny).
“Apakah saya berhak menerima ini? Jika memang berhak, Alhamdulillah,”
saya bertanya kepada Mas Iwan, perwakilan teman seangkatan Abang, yang
menyerahkan santunan. Biaya sekolah Dafi juga terbantu berkat mereka.
Terus terang, saya kaget dan bersyukur, sepertinya saya tak sendiri. Ada
keluarga baru yang menemani kami.
Saya juga berterima kasih kepada
teman-teman sekantor Abang. Mbak Rini (Ibu Dwi Setyorini, Kasubag Umum
–peny) dan tim Waskon mengurus pencairan hak-hak almarhum. Sejak
Februari, baru Oktober ini selesai. Pak Joga (Bapak Joga Saksono, Kasi
Pengawasan dan Konsultasi –peny), serta Pak Yond Rizal (Kepala Kantor
–peny). Kepala Kantor yang telah mengusulkan Abang memperoleh predikat
anumerta. Status anumerta menegaskan bahwa Abang mangkat sewaktu
menjalankan tugas.
* * *
Tak ada yang banyak berubah dari rumah
ini. Kecuali tinggi lantai yang terpaksa saya naikkan 50 cm. Maklum, dua
tahun terakhir, tiap hujan turun, kompleks kami dilanda banjir. Air
masuk hingga semata kaki. Rencana menambah tinggi lantai sempat saya
utarakan. Itu pun saya lakukan karena masa kelahiran si bungsu kian
dekat. Kasihan si kecil. Namun pesan mendiang tetap terngiang,
“Bagaimana dengan perasaan para tetangga? Kalau rumah kita tinggi
sendiri, bagaimana dengan mereka? Kita jangan egois, Bunda.” Bahkan,
untuk mengganti cat dinding yang baru, Abang harus tengok kiri-kanan
dulu.
Pernah ada teman nyeletuk, “Gue aja udah punya rumah tiga. Suami lu kan Kasi.rumah
dipinggiran ” Mendengar hal itu, nasihat beliau sederhana, “Gak usah
ngiri. Kita harus bangga dengan apa yang kita punya.syukuri yang ada,
Jangan harap suamimu akan mengambil sesuatu yang lebih dari haknya.”
Yah, rumah ini sejak kami beli dan tempati pada akhir 2005, masih harus
kami cicil hingga 10 tahun ke depan.
Tak ada yang banyak berubah dari rumah
ini. Pigura mungil foto perkawinan kami masih terpajang. Kami memakai
sepasang baju dan kebaya biru nyala segar. Dua buah foto kami berdua,
saling berpelukan dan tersenyum juga masih ada. Foto keluarga, waktu itu
masih dua anak, kami kompak memakai putih-putih, bertengger manis. Ada
juga foto Dafi, alangkah gagahnya ia, saat wisuda TK Al-Biruni angkatan
2010-2011. Si sulung juga mempersembahkan piala Juara Kedua Lomba Gerak
dan Lagu Geordase TK se-Kecamatan Penyileukan 2011. Di atas meja belajar
Dafi dalam kamar, senantiasa berdetak jam dinding warna biru dari KPP
Madya Palembang.
Semuanya masih ada pada tempatnya,
seperti saat Abang masih bersama kami. Tak ada yang berubah… kau selalu
di hati kami. Minggu malam itu, sebelum berangkat menjemput takdirnya,
Abang menulis surat di buku Dafi dengan tinta ungu.
SURAT untuk:
Dafi jagoan ayah
Dafi, ayah mau berangkat kerja dulu ya.
Abang jagain bunda sama dede yah.
Abang emam nya yang banyak ya..
jangan lupa minum susu dan sikat gigi
kalau mau bobo.
Belajar yang rajin
jangan lupa belajar solat.
da dah Abang…
peluk sayang dari ayah
(Ayah Najib)
ttd
Tak akan ada yang berubah dari rumah ini.
Kecuali anak -anak yang bertambah besar. Anak-anak tetap ceria. Bermain
bersama teman mereka di depan televisi di ruang tengah. Saya tak mau
menangis di depan mereka, tiap kali mengingat Abang. Kalau kepergok
Dafi, dia mengingatkan,“Bunda nangis ingat Ayah yah? Kata Bu Guru, kalau
teringat ayah kita mesti berdoa, Bunda. Ayah sudah di surga, Bunda.
Berarti Ayah sudah berkumpul dengan Nabi Muhammad. Kan masih ada Abang
(panggilan Dafi), Kaka (panggilan Kayyisah setelah punya adik) dan Dede.
Kita berjuang bersama-sama, ya Bun. ” Saya takjub mendengarnya. Anak
seusia Dafi sudah bisa bertutur seperti itu.
Satu lagu sering dinyanyikan Almarhum untuk saya. Dan sekarang saya persembahkan untuk beliau: “Takkan Terganti”.
Meski waktu datang dan berlalu
sampai kau tiada bertahan
semua takkan mampu mengubahku
hanyalah kau yang ada di relungku
hanyalah dirimu
mampu membuatku jatuh dan mencinta
kau bukan hanya sekedar indah
kau tak akan terganti
Delapan bulan sudah berlalu tanpa kehadirannya.Yah,
memang tak ada yang banyak berubah dari rumah ini begitupun dengan hati
kami, Kami ingin sekadar menganggap Abang sedang berangkat kerja.
Hanya, Ayah masih belum kunjung pulang. Selamat jalan Ayah akan
kubesarkan dan kudidik anak kita seperti yang kau inginkan,semoga Allah
selalu melindungi kami dan Semoga kita dapat berkumpul di surga kelak.
Kau akan selalu ada bersama kami Peluk sayang kami yang menyayangimu..
Ummu Dafi – Bandung
Oktober 2011
Sumber :abufahry
Silakan share jika bermanfaat >>>
0 Response to "[ Kisah Nyata ] Istri Pegawai Pajak: Kekasihku Pergi Saat Berjihad "
Post a Comment