Ilustrasi. |
Saya tak tahu apa yang saya pikirkan waktu itu. Saya akan menghadapi
ujian Mata kuliah Ilmu Forensik. Dosen saya saat adalah Profesor Melon
B. Beliau masih mengajar sampai saat ini. Anda bisa mencari namanya di
Google: Universitas Toronto, Pofesor Melon B.
Dan beliau menjabat
sebagai Ketua Jurusan waktu itu. Ketika itu saya mengambil jenis
forensik psikologi dan saya akan menghadapi ujian mata kuliah itu, yang
jadwalnya bertepatan dengan Shalat Jumat. Saya diminta untuk jadi imam
oleh takmir masjid yang lokasinya jauh dari kampus. Minimal sekitar 25
menit berkendara dari kampus, bahkan jika saya berkendara dengan
kecepatan super. Karena itu saya menghubungi takmir masjid.
“Akhi Yahya, tak ada orang lagi selain anda, anda harus datang.” kata Takmir.
Saya berkata kepadanya,”Saya ada ujian Akhi.”
Takmir berkata,”Tolonglah Akhi.”
Saya berkata,”Baiklah, biar saya bicara dengan Profesor saya dulu.”
Setelah itu saya menghubungi Profesor dan berkata, ”Bisakah saya
menemui anda di kantor?” Profesor berkata, ”Ya silakan datang, Mister
Ibrahim.” Saya pun pergi ke sana. Setelah sampai, saya katakan padanya,
”Pak ujiannya akan dimulai pukul 1, tapi saya harus Shalat Jum’at pukul
1, dan karena saya harus shalat di masjid yang jauh dari sini, di daerah
Massassagua, perjalanannya membutuhkan setidaknya 25 hingga 30 menit.
Sementara ujiannya sekitar 50 menit dari jam 1 hingga 1:50 siang. Itu
artinya saya hanya akan punya sisa waktu 20 menit, apakah anda tidak
keberatan jika saya mengambil ujian mulai pukul 12 siang…”. Sebelum saya
selesai bicara, beliau telah menimpali. Beliau berkata, ”Kami di sini
bukan untuk menyesuaikan kebutuhan Anda, Anda ikut ujian atau tidak itu
urusan Anda. Berapa pun waktu yang Anda punyai itulah waktu Anda. Kami
tidak bisa mengabulkan permintaan Anda.” Saya berkata,”Baiklah tak apa.”
Saya akan tetap pergi Shalat Jum’at.
Hari itu pun tiba, setelah selesai shalat dan salam, saya langsung
bersegera keluar masjid, melangkah diantara begitu banyak jamaah, menuju
mobil. Saya meluncur ke kampus. Hingga saya masuk kelas pukul 1:40
sekitar 10 menit tersisa. Dan Profesor tersenyum pada saya ketika
memberikan kertas ujian. Anda pasti tahu bagaimana senyum itu, bukan?
Setelah itu saya duduk. Soalnya waktu itu pilihan ganda. Anda tahu soal
pilihan ganda bukan, kita hanya disuruh mengarsir lingkaran sebagai
jawaban yang dirasa tepat. Saya baca soalnya, tentang psikologi dan
psikiatrik. Soal pertama saya jawab “C”, soal kedua saya jawab “C”, soal
ketiga saya jawab “C” saya berpikir ada yang tak beres dengan jawaban
saya. Tapi saya tak punya waktu lagi untuk membaca soalnya ulang. Soal
keempat saya jawab “C”, hingga waktunya tinggal 1 menit lagi, saya
langsung jawab semuanya “C” ”C” ”C” ”C”… Jadilah saya jawab 80 soal itu
dengan “C”.
Setelah ujian itu, kami punya liburan semester selama beberapa hari.
Dan setelah kembali ke kampus, saya merasakan ada hal yang aneh ketika
bertatap muka dengan Profesor. Di dalam kelas, ketika pembagian hasil
ujian dilaksanakan, Profesor memberikan semacam mukaddimah singkat,
”Ujian ini diharapkan menjadi bagian dari latihan kejiwaan bagi kalian.
Dan kami berkeinginan melakukan sesuatu hal yang berbeda tahun ini. Kami
membuat semua jawaban atas soal itu “C” untuk mengetahui siapa di
antara kalian yang ragu, karena kalian pasti berpikir tak mungkin
menjawab “C” untuk keseluruhan soal.
Saya berkata dalam hati, ”Tapi karena saya tak membaca soalnya,
jadinya saya menjawab semua soal dengan “C”. Itulah pertolongan dari
Allah.
Setelah Profesor memberikan kertas hasil ujianya kepada kami semua,
beliau berkata, ”Kami tidak akan melakukan hal ini lagi, karena ada hal
terkhusus terjadi. Hal itu mengakibatkan ketidakberesan statistik.”
Saya ceritakan ini bahwa kejadian ini benar-benar terjadi,
demikianlah Allah menolong hamba-hamba-Nya yang memilih melakukan
sesuatu karena Allah. Itulah gaya seorang muslim. Jangan sekali-kali
meninggalkan Shalat Jumat… [ ]
Sumber: akhwatmuslimah
0 Response to "[Kisah Nyata] Pertolongan Allah itu Nyata, "Aku Menjawabnya 'C'...""
Post a Comment