Di masa jahiliyah bohong
atau dusta adalah sifat yang hina. Mereka benar-benar memandang dusta
sebagai sifat rendahan. Islam hadir di lisan masyarakat yang jujur ini
sehingga syahadat bisa terwakili dengan zhahir ucapan lisan. Ketika
lisan mereka telah berucap itu berarti isi hati dan perbuatan pun sama.
Berikut ini sebuah kisah dimana orang-orang Arab jahiliyah menganggap
dusta adalah aib yang tercela dan memalukan. Orang-orang akan
mengingatnya dalam waktu yang panjang. Dan dicap sebagai pembohong.
Apalagi kalau yang berdusta adalah seorang tokoh. Kisah ini sekaligus
menguatkan hikmah mengapa Nabi Muhammad ﷺ diutus di Arab.
Dari Abdullah bin Abbas:
Setelah Caisar Heraclius (Raja Romawi) membaca surat Rasulullah ﷺ
yang ditujukan kepadanya, ia berkata, “Hadapkan kepadaku salah seorang
dari kaum orang yang mengaku Nabi ini. Aku ingin bertanya tentang dia”.
Abdullah bin Abbas melanjutkan:
Abu Sufyan bercerita kepadaku bahwa ia dan orang-orang Quraisy berada
di Syam untuk berdagang. Saat itu Rasulullah ﷺ dan orang-orang Quraisy
masih sedang mengikat perjanjian damai. Lalu datanglah utusan Caisar.
Kami pun diundang bertemu raja. Kami masuk menemui Caisar. Caisar duduk
di singgasananya dengan mengenakan mahkota. Dan di sekelilingnya
terdapat tokoh-tokoh Kerajaan Romawi.
Caisar Heraclius berkata kepada penerjemahnya, “Tanyakan pada mereka,
siapa yang paling dekat kekerabatannya dengan laki-laki yang mengaku
Nabi itu!”
Abu Sufyan berkata, “Akulah orang yang paling dekat hubungan nasab dengannya”.
Ia bertanya, “Seberapa dekat nasabmu dengannya?”
“Dia adalah anak pamanku”, jawab Abu Sufyan. “Tidak ada pada
rombongan ini seorang pun dari bani Abdi Manaf kecuali aku”. Kisahnya.
Caisar berkata, “Mendekatlah”. Lalu ia memerintahkan rombonganku
berada di belakangku. Lalu ia berkata kepada penerjemahnya, “Katakan
kepada teman-temannya, aku akan menanyai dia tentang laki-laki yang
mengaku nabi itu. Apabila ia bohong, maka katakan ia berbohong”.
Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, kalau bukan karena malu dicap
sebagai pendusta, pasti aku akan berbohong saat ia bertanya tentang nabi
itu. Tapi aku malu kebohonganku ini akan diingat, jadi kukatakan yang
sebenarnya”.
Kemudian Caisar berkata kepada penerjemahnya, “Bagaimana nasab
laki-laki itu di kalangan kalian?” “Ia adalah seorang yang memiliki
nasab terhormat”, jawabku.
“Apakah ada di antara kalian orang yang mengatakan kenabian ini sebelum dia?” tanyanya lagi. “Tidak ada”, jawabku.
“Apakah kalian pernah menuduhnya berdusta sebelum ia mengaku Nabi?” “Tidak”, jawabku.
“Apakah ada dari ayah dan kakek-kakenya seorang raja?” “Tidak ada”, jawabku.
“Apakah pengikutnya orang-orang terhormat di kaumnya ataukah
orang-orang yang lemah?” “Pengikutnya adalah orang-orang lemah”,
jawabku. “Terus bertambah atau berkurang?” tanyanya lagi. “Terus
bertambah”, jawabku.
“Apakah ada yang murtad (keluar) dari agamanya setelah mereka memeluknya?” “Tidak ada”, jawabku.
“Apakah dia pernah berkhianat?” tanyanya. “Tidak. Dan kami sekarang
sedang berada dalam masa perjanjian damai dengannya, kami tidak tahu apa
yang akan dia perbuat”. Abu Sufyan bergumam, “Demi Allah, aku tidak
dapat menyelipkan kata lain dalam jawaban selain ucapan di atas”.
“Apakah ia memerangi kalian dan kalian memeranginya?” “Iya”, jawabku.
“Bagaimana perang kalian?” tanyanya lebih lanjut. “Perang antara kami
dengannya silih berganti. Terkadang dia mengalahkan kami dan terkadang
kami mengalahkannya”, jawab Abu Sufyan.
“Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” Abu Sufyan menjawab, “Ia
memerintahkan kami agar menyembah Allah saja dan tidak menyekutukannya
dengan sesuatu apapun. Melarang menyembah Tuhan-Tuhan nenek moyang kami.
Memerintahkan shalat, sedekah, menjaga kehormatan diri, memenuhi janji,
dan menunaikan amanah”.
Setelah itu, Caisar berkata kepada penerjemahnya:
Katakan padanya! Aku bertanya kepadamu tentang nasabnya dan engkau
menjawab ia memiliki nasab terhormat. Demikianlah para rasul. Mereka
adalah orang-orang yang memiliki nasab terhormat.
Aku juga bertanya kepadamu, apakah ada sebelum dia orang yang
mengatakan demikian (mengaku nabi). Engkau jawab tidak ada. Kalau ada
seseorang yang mengaku sebagai nabi sebelum dia. Maka menurutku dia
hanya ikut-ikutan saja.
Aku bertanya kepadamu apakah kalian pernah menuduhnya berdusta
sebelum ia mengaku nabi. Engkau jawab tidak pernah. Maka aku bisa tahu,
tidak mungkin orang yang tidak berdusta atas nama manusia akan berdusta
atas nama Allah.
Aku bertanya kepadamu apakah ada nenek moyangnya yang pernah menjadi
raja. Engkau jawab tidak ada. Jika seandainya ada nenek moyangnya yang
pernah jadi raja. Maka ia adalah orang yang menginginkan kerajaan nenek
moyangnya (kemabli ke tangannya).
Aku bertanya kepadamu apakah pengikutnya orang-orang terhormat atau
orang-orang lemah. Engkau jawab pengikutnya adalah orang-orang lemah.
Demikian itulah pengikut para rasul.
Aku bertanya kepadamu apakah pengikutnya itu terus bertambah atau
berkurang. Engkau jawab terus bertambah. Demikianlah keimanan sehingga
ia bisa sempurna.
Aku bertanya kepadamu apakah ada yang murtad salah seorang
pengikutnya setelah memeluk agamanya. Engkau jawab tidak ada. Memang
demikianlah keimanan ketika cahayanya telah menyentuh hati. Tidak
seorang pun membencinya.
Aku bertanya kepadamu apakah ia pernah berkhianat. Engkau jawab tidak pernah. Memang para rasul tidak akan berkhianat.
Aku bertanya kepadamu tentang ia memerangi kalian dan kalian
memeranginya. Engkau jawab demikianlah keadaannya. Peperangan antara
kalian dengannya kadang dia yang menang dan kadang kalian yang menang.
Begitulah para rasul. Mereka senantiasa diuji. Namun pada akhirnya
merekalah yang akan menang.
Aku bertanya apa yang ia serukan. Engkau katakan ia memerintahkan
agar menyembah Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu
apapun. Melarang menyembah Tuhan-Tuhan nenek moyang kalian.
Memerintahkan shalat, sedekah, menjaga kehormatan diri, memenuhi janji,
dan menunaikan amanah. Inilah sifat seorang nabi. Aku telah mengetahui
bahwa ia akan diutus. Hanya saja aku tidak menyangka dari bangsa kalian.
Jika apa yang engkau katakan benar , maka ia menguasai tempat kedua
kakiku berpijak ini. Dan seandainya aku tahu bahawa aku akan setia
kepadanya, niscaya aku pasti akan senang bertemu dengannya. Kalau aku
berada di sisinya, pasti akan aku cuci kedua kakinya.
Abu Sufyan melanjutkan kisahnya: Kemudian ia meminta untuk dibawakan
surat Rasulullah ﷺ. Kemudian dibacakan. Ternyata di dalamnya bersikan:
Bismillahirrahmanirrahim..
Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Heraclius pembesar
Romawi. Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du..
Sungguh aku mengajakmu dengan dakwah Islam. Masuk Islam lah pasti
engkau selamat. Islam lah, Allah akan memberimu pahala dua kali lipat.
Jika engkau menolak, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu.
“Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun
dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)”. (QS. Ali Imran | Ayat: 64).
Abu Sufyan kembali melanjutkan: Setelah ia selesai membacanya,
terdengar suara-suara meninggi dan rebut dari tokoh-tokoh kerajaan yang
ada di sekitarnya. Dan mereka semakin rebut. Aku tidak tahu apa yang
mereka katakan. Kemudian ia memerintahkan kami untuk meninggalkan
ruangan.
Ketika aku dan teman-temaku keluar, aku berkata kepada mereka,
“Ajaran Ibnu Abu Kabasyah benar-benar telah tersebar. Raja bani
al-Ashfar pun takut kepadanya… …Demi Allah aku masih terus merasa yakin
dengan ajaran Rasulullah ﷺ bahawa ia akan tersiar luas sehingga Allah
berkenan memasukkan ajaran Islam itu ke dalam hatiku”.
(al-Anwar fi Syama-il an-Nabi al-Mukhtar, Bab Alamat Nubuwatihi ﷺ, Hadits No:36)
Pelajaran:
- Meskipun membenci Nabi Muhammad ﷺ, orang-orang Quraisy tidak bersekongkol untuk berbohong dan membiarkan Abu Sufyan berbicara semaunya.
- Ketahuan berbohong akan menjatuhkan harga diri dan kredibilitas seseorang di tengah masyarakat jahiliyah. Karena itu Abu Sufyan menahan diri dari berbohong walaupun ia sangat ingin bercerita bohong.
- Di masa kemudian, tradisi kejujuran bangsa Arab memudahkan dan sangat membantu dalam periwayatan hadits Nabi ﷺ.
- Keluarga para nabi adalah keluarga terhormat.
- Tidak tepat menilai kebenaran dengan keadaan pengikutnya. Banyak orang-orang lemah dan miskin yang berada dalam ketaatan dan ajaran Nabi bukan berarti hal itu keliru. Sebagaimana orang-orang liberal dan sekuler sering menjadikan kemajuan Eropa sebagai alasan untuk meninggalkan ajaran Islam yang hakiki. Karena menurut mereka ajaran ini tidak benar dan sudah tidak cocok lagi dengan zaman.
- Umat Islam jumlahnya senantiasa bertambah.
- Nabi Isa juga menyerukan kalimat laa ilaaha illallah. Karena itu Nabi mengutip surat Ali Imran ayat 64 untuk mendakwahi Romawi yang Nasrani.
Artikel www.KisahMuslim.com
0 Response to "[Kisah] Bohong Itu Hina Bagi Masyarakat Jahiliyah (Dialog Heraclius dan Abu Sufyan)"
Post a Comment