Selasa malam (1 Februari
2012), Setelah hujan lebat mengguyur Medan, gerimis masih turun. Saya
pacu motor dengan cepat dari kantor disekitar Jl Imam Bonjol Medan
menuju rumah di Jl karya. Kerja penuh seharian membuat saya amat lelah
hingga di sekitar daerah petisah mata saya sudah benar-benar tidak bisa
dibuka lagi. Saya kehilangan konsentrasi dan membuat saya menghentikan
motor dan melepas kepenatan di sebuah shelter bis di seberang Mal
Careful. Saya lihat jam sudah menunjukan pukul 10.25 malam.
Keadaan jalan sudah lumayan sepi. Saya telpon isteri saya kalau saya
mungkin agak terlambat dan saya katakan alasan saya berhenti sejenak.
Setelah saya selesai menelpon baru saya menyadari kalau disebelah saya
ada seorang ibu muda memeluk seorang anak lelaki kecil berusia sekitar 2
tahun. Tampak jelas sekali mereka kedinginan. Saya terus
memperhatikannya dan tanpa terasa airmata saya berlinang dan teringat
anak saya (M. Hafizt dan Vivi Muthia) yang masih kecil-kecil juga.
Pikiran saya terbawa dan berandai-andai, “Bagaimana jadinya jika yang
berada disitu adalah isteri dan anak saya?”
Tanpa berlama-lama
saya dekati mereka dan saya berusaha menyapanya. ” Ibu,ibu,kalau mau ibu
boleh ambil jaket saya, mungkin sedikit kotor tapi masih kering. Paling
tidak anak ibu tidak kedinginan” Saya segera membuka raincoat dan jaket
saya, dan langsung saya berikan jaket saya.
Tanpa bicara, ibu
tersebut tidak menolak dan langsung meraih jaket saya. Pada saat itu
saya baru sadar bahwa anak lelakinya benar-benar kedinginan dan giginya
bergemeletuk.
“Tunggu sebentar disini bu!” pinta saya. Saya lari
ke tukang jamu yang tidak jauh dari shelter itu dan saya meminta air
putih hangat padanya. an Alhamdulillah, saya justeru mendapatkan teh
manis hangat dari tukang jamu tersebut dan segera saya kembali
memberikannya kepada ibu tersebut. “Ini bu,.. kasih ke anak ibu!”
selanjutnya mereka meminumnya berdua.
Saya tunggu sejenak sampai
mereka selesai. Saya hanya diam memandangi lalu lalang kendaraan yang
lewat “Bapak, terima kasih banyak, mau menolong saya” sesaat kemudian
ibu tersebut membuka percakapan. Ah, tidak apa-apa, ngomong-ngomong ibu
pulang kemana? Tanya saya Saya tinggal di daerah Tasbi tapi…(dia
menghentikan bicaranya), Bapak pulang bekerja ? dia balas bertanya.
“Ya” jawab saya singkat.
“Kenapa sampai larut malam pak, memangnya anak isteri bapak tidak
menunggu? Tanyanya lagi. Saya diam sejenak karena agak terkejut dengan
pertanyaannya.
“Terus terang bu, sebenarnya selama ini saya
merasa bersalah karena terlalu sering meninggalkan mereka berdua. Tapi
mau bilang apa, masa depan mereka adalah bagian dari tanggung jawab
saya. Saya hanya berharap semoga Allah terus menjaga mereka ketika saya
pergi.” Mendengar jawaban saya si ibu terisak, saya jadi serba salah.
“Bu, maafkan saya kalau saya salah omong.
Pak kalau boleh saya
minta uang seratus ribu, kalau bapak berkenan? Pintanya dengan sedih dan
sopan. Airmatanya berlinang sambil mengencangkan pelukan ke anak
lelakinya.
Karena perasaan bersalah, saya segera keluarkan uang
limapuluh-ribuan 2 lembar dan saya berikan padanya. Dia berusaha meraih
dan ingin mencium tangan saya, tetapi cepat-cepat saya lepaskan. “ya
sudah, ibu ambil saja, tidak usah dipikirkan!” saya berusaha
menjelaskannya. “Pak kalau jas hujannya saya pakai bagaimana?
Badan saya
juga benar-benar kedinginan dan kasihan anak saya” kembali ibu tersebut
bertanya dan sekarang membuat saya heran. Saya bingung untuk
menjawabnya dan juga ragu memberikannya. Pikiran saya mulai
bertanya-tanya, Apakah ibu ini berusaha memeras saya dengan apa yang
ditampilkannya di hadapan saya? tapi saya entah mengapa saya benar-benar
harus meng-ikhlas- kannya. Maka saya berikan raincoat saya dan kali ini
saya hanya tersenyum tidak berkata sepatahpun.
Tiba tiba anaknya
menangis dan semakin lama semakin kencang. Ibu tersebut sangat berusaha
menghiburnya dan saya benar-benar bingung sekarang harus berbuat apa?
Saya keluarkan handphone saya dan saya pinjamkan pada anak tersebut. Dia
sedikit terhibur dengan handphone tersebut, mungkin karena lampunya
yang menyala.
Saya biarkan ibu tersebut menghibur anaknya memainkan
handphone saya. Sementara itu saya berjalan agak menjauh dari mereka.
Badan dan pikiran yang sudah lelah membuat saya benar-benar kembali
tidak dapat berkonsentrasi. Mungkin sekitar 10 menit saya hanya diam di
shelter tersebut memandangi lalu lalang kendaraan. Kemudian saya
putuskan untuk segera pulang dan meninggalkan ibu dan anaknya tersebut.
Saya ambil helm dan saya nyalakan motor, saya pamit dan memohon maaf
kalau tidak bisa menemaninya. Saya jelaskan kalau isteri dan anak saya
sudah menunggu dirumah. Ibu itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih
kepada saya.
Dia meminta no telpon rumah saya dan saya tidak
menjawabnya, saya benar-benar lelah sekali dan saya berikan saja kartu
nama saya. Sesaat kemudian saya lanjutkan perjalanan saya.
Saya
hanya diam dan konsentrasi pada jalan yang saya lalui. Udara benar-benar
terasa dingin apalagi saat itu saya tidak lagi mengenakan jaket dan
raincoat ditambah gerimis kecil sepanjang jalan. Dan ketika sampai di
depan garasi dan saya ingin menelpon memberitahukan ke isteri saya kalau
saya sudah di depan rumah saya baru sadar kalau handphone saya
tertinggal dan masih berada di tangan anak tadi. Saya benar-benar kesal
dengan kebodohan saya. Sampai di dalam rumah saya berusaha menghubungi
nomor handphone saya tapi hanya terdengar nada handphone dimatikan.
“Gila.Saya benar-benar goblok, tidak lebih dari 30 menit saya kehilangan
handphone dan semua didalamnya” dengan suara tinggi, saya katakan itu
kepada isteri saya dan dia agak tekejut mendengarnya.
Selanjutnya saya
ceritakan pengalaman saya kepadanya. Isteri saya berusaha menghibur saya
dan mengajak saya agar meng-ikhlaskan semuanya. “Mungkin Allah memang
menggariskan jalan seperti ini. Sudahlah sana mandi dan shalat dulu,
kalau perlu tambah shalat shunah-nya biar bisa lebih ikhlas” dia
menjelaskan. Saya segera melakukannya dan tidur.
Keesokan paginya
saya terpaksa berangkat kerja membawa mobil padahal hal ini, tidak
terlalu saya suka. Saya selalu merasa banyak waktu terbuang jika bekerja
membawa mobil ketimbang naik motor yang bisa lebih cepat mengatasi
kemacetan. Kalaupun saya bawa motor saya khawatir hujan karena kebetulan
saya tidak ada cadangan jaket dan raincoat juga sudah saya berikan
kepada ibu dan anak tadi malam. Setelah mengantar anak saya kuliah di PT
Swasta di sekitar Medan saya langsung menuju kantor tetapi pikiran saya
terus melanglang buana terhadap kejadian tadi malam.
Saya belum
benar-benar meng-ikhlaskan kejadian tadi malam bahkan sesekali saya
mengumpat dan mencaci ibu dan anak tersebut didalam hati karena telah
menipu saya. Sampai di kantor, saya kaget melihat sebuah
bungkusan besar diselimuti kertas kado dan pita berada di atas meja
kerja saya. Saya tanya ke office boy, siapa yang mengantar barang
tersebut. Dia hanya menjawab dengan tersenyum kalau yang mengantar
adalah supirnya ibu yang tadi malam, katanya bapak kenal dengannya
setelah pertemuan semalam bahkan dia menambahkan kelihatannya dari orang
berada karena mobilnya Hammer yang bagus.
“Bapak selingkuh ya,
pagi-pagi sudah dapat hadiah dari perempuan? tanyanya sedikit bercanda
kepada saya. Saya hanya tersenyum dan saya menanyakan apakah dia ingat
plat nomor mobil orang tersebut, office boy tersebut hanya menggelengkan
kepala..
Segera saya buka kotak tersebut dan “Ya Allah, semua
milik saya kembali. Jaket, raincoat, handphone, kartu nama dan uangnya.
Yang membuat saya terkejut adalah uang yang dikembalikan sebesar 2 juta
rupiah jauh melebihi uang yang saya berikan kepadanya. Dan juga selembar
kertas yang tertulis ;
” Pak, terima kasih banyak atas
pertolongannya tadi malam. Ini saya kembalikan semua yang saya pinjam
dan maafkan jika saya tidak sopan. Kemarin saya sudah tidak tahan dan
mencoba lari dari rumah setelah saya bertengkar hebat dengan suami saya
karena beliau sering terlambat pulang ke rumah dengan alasan pekerjaan.
Bodohnya, dompet saya hilang setelah saya berjalan-jalan dengan anak
saya di Carreful Plaza. Sebenarnya saya semalam ingin melanjutkan
perjalanan ke rumah kakak saya di Helvetia, tetapi saya jadi bingung
karena tidak ada lagi uang untuk ongkos makanya saya hanya berdiam di
hate bis itu. Setelah saya bertemu dan melihat bapak tadi malam, saya
baru menyadari bahwa apa yang suami saya lakukan adalah demi cinta dan
masa depan isteri dan anaknya juga.
Salam dari suami saya untuk bapak.
Salam juga dari kami sekeluarga untuk anak-isteri bapak di rumah. Suami
saya berharap, biarlah bapak tidak mengetahui identitas kami dan biarlah
menjadi pelajaran kami berdua . Oh ya, maaf handphone bapak terbawa dan
saya juga lupa mengembalikannya tadi malam karena saya sedang larut
dalam kesedihan. Terima kasih.
Segera saya telpon isteri saya dan
saya ceritakan semua yang ada dihadapan saya. Isteri saya merasa
bersyukur dan meminta agar semua uangnya diserahkan saja ke mesjid
terdekat sebagai amal ibadah keluarga tersebut.
Moga-moga buat ibu-ibu yg membacanya,jadikanlah ini sbg pelajaran buat kita,janganlah selalu buruk sangka pada suami,betapa beratnya tugas suami yg tak mengenal waktu,panas,hujan. Semuanya itu hanya demi memenuhi kebutuhan anak dan istri tercinta,terkadang maut selalu mengintainya dalam bekerja.
Renungan N Kisah Inspiratif
0 Response to "[KISAH NYATA] : Pengorbanan Seorang Suami"
Post a Comment