Sedekah Si Mantan Tukang Las Keliling


Budi Harta Winata, Sedekah Si Mantan Tukang Las Keliling



"Mas, sudah lama kita tidak kurban. Ayo tahun ini potong kurban," kalimat itu meluncur pelan dari mulut Siti Saodah.

Petang itu, Saodah merajuk pada sang suami. Seorang pria 37 tahun yang kerjaaan saban hari cuma tukang las keliling.
Lelaki itu sebetulnya baru saja pulang. Wajahnya penat. Peluh keringat membasahi sekujur tubuhnya. Melangkah pelan ke pintu ruang, ia tanggalkan peralatan las di atas mobil pick up.
Belum sempat badan merebah, si tukang las keliling ini cuma bisa garuk kepala. Saat sang istri merajuk membeli hewan kurban. Tak kuasa hatinya menolak.Pelan-pelan tangannya merogoh dompet. Saku celana dan pakaian pun diperiksanya. Ada beberapa lembar uang. Jumlahnya cuma ada Rp 400 ribu. Belum cukup untuk membeli seekor kambing di tahun 2013.
"Aku cuma punya Rp 400 ribu ini, Dik. Kamu carilah tambahannya biar kita bisa motong kambing kurban," ucap Budi sembari menyerahkan uang terakhirnya itu.Tangan Saodah menggapai pemberian suaminya. Dia kasak-kusuk mencari tambahan. Saat Saodah teringat simpanan uang yang tak seberapa.

Dan di hari raya itu, keluarga tukang las menunaikan kewajibannya sebagai muslim. Dari uang terakhir Rp 400 ribu dan tambahan simpanan istri, keluarga itu berqurban untuk mensyukuri nikmat Allah. Selang sepekan kemudian, pengorbanan keluarga ini seolah terbalas. Uang Rp 400 ribu dikembalikan Rp 40 juta. Tak langsung memang. Tapi itu nilai order las yang akan diperoleh suaminya.

"Ini pasti berkah pengorbanan," kata pria yang pernah terdampar menjadi tenaga kerja illegal di Malaysia ini.
Dialah Budi Harta Winata. Jangan bayangkan Budi saat ini masih menjadi seorang tukang las keliling

Gaji Kecil, Terdampar, dan Bangkit

Selang 13 tahun, Budi yang kesulitan membeli seekor kambing untuk kurban telah berubah. Dari tukang las, Budi menggapai kesuksesan. Menjadi seorang kontraktor dan pemilik perusahaan.    Sebuah pabrik dengan pelang nama PT Artha Mas Graha Andalan jadi tempat naungan baru. Di sini, Budi adalah pemiliknya. Mobil pick up yang setia menemani sudah tak ada. Diganti truk-truk  baru yang datang satu per satu.   

Ayah dari Ananta Nugraha dan Hiraita Genta ini tak begitu saja jadi pengusaha sukses. Bukan juga pekerjaan semalam. Ada keringat dan semangat pantang menyerah di dalamnya.   Perjalanan Budi bermula dari Banyuwangi, Jawa Timur. Lahir di kota durian merah, Budi tak bisa menamatkan Sekolah Dasar (SD) di tanah kelahirannya.    Budi kecil yang duduk di kelas 5 SD harus ikut orang tua pindah ke Palopo, Sulawesi Selatan. Melanjutkan sekolah di kampung halaman sang ayah.    Menginjak remaja, Budi memilih STM jurusan mesin sebagai jalur pendidikannya. Meski mimpinya bukan ke arah itu. Budi sebetulnya ingin menjadi pelaut.   

Lepas STM kesempatan itu hadir. Budi melalang buana ke Jakarta. Pergi bersama sang kakak dan tinggal di sebuah rumah kos di Cilincing, Jakarta Utara. Petualangan baru dimulainya di ibukota.   Namun itu tak berlangsung lama. Budi ditinggal sendirian di Jakarta. Sang kakak merantau ke Singapura. Demi menyambung hidup, Budi harus bekerja. Perusahaan otomotif jadi persinggahan pertamanya menapaki dunia kerja. Bekerja di tempat pembuatan velg truk tak membuatnya puas. Tak mau masa mudanya hilang begitu saja, Budi memutuskan hengkang.   

Saat sebuah pabrik yang tengah direnovasi memancing perhatiannya. Tanpa sungkan, seorang kontraktor didatanginya. Dia ingin menjadi kontraktor. Sebuah pesan diberikan sang kontraktor. Budi harus belajar menggambar. Istilahnya dalam dunia kontraktor menjadi drafter.   

Tekad yang kuat mendorong Budi untuk mendaftar sekolah lagi. Kali ini dia belajar menjadi drafter. Meski pendidikan ini baru dijalani setelah Budi mendapat pesangon karena diputus kerja kantor lamanya. Selama 4 bulan bekal menjadi drafter dikuasai. Proyek pertama menyambangi. Kini Budi menjadi pekerja proyek meski harus bekerja sebagai pegawai kantoran. Lagi-lagi, bukan mimpi yang diinginkannya.   

"Saya sudah bekerja di perusahaan multinasional sebagai drafter. Tapi saya masih iri dengan teman saya. Rata-rata mereka bekerja di kapal pesiar gaji dengan haji US$ 1000. saya waktu itu tak bersyukur apalagi temen saya gajinya Rp 15 juta," kenang Budi seperti dikutip Dream dari tayangan sebuah TV nasional, ANTV.  

Kembali niat menjadi pelayar muncul. Budi melakukan aksi nekad. Membuat paspor dan berlayar dengan sebuah kapal milik perusahaan Malaysia. Bukannya menjadi pelayar, Budi justru terdampar.  Pekerjaan sebagai pengangkut kayu bulat ilegal membuat dia kabur. Hanya bermodal uang 50 ringgit Malaysia, Budi selamat sampai di Pontianak.   

Kembali ke tanah air, Budi pun pasrah menjadi pekerjaan baru. Kali ini Budi telah berubah. Berbaik sangka dengan pemberian apapun yang diberikan Allah SWT. Disinilah karir Budi gemilang. Jabatannya terakhirnya adalah wakil direktur. Saat usia 32 tahun, Budi memutuskan membangun usaha sendiri. Menjadi tukang las keliling.
Lambat laun, bisnisnya berkembang. Pekerjaannya memuaskan. Tawaran proyek silih berganti datang. Hingga Budi akhirnya memiliki sebuah perusahaan dengan lahan 20 ribu meter persegi. 

Salat Bukan Urusan Untung Rugi

Budi kini menikmati sukses. Bendera perusahaan PT Artha Mas Graha Andalan terus berkibar. Namun Budi masih tukang las yang dulu.   Budi tak takabur dengan kesombongannya. Pengalaman membeli kambing dari uang terakhir Rp 400 ribu selalu mengingatkannya. Doa dan sedekah senantiasa dilakoninya sampai sekarang.   

Bagi Budi, rahasia suksesnya cuma satu. Taat kepada perintah Allah SWT. Budi tak mau lalai dengan kewajibannya sebagai seorang muslim.   "Setiap Lu dapat rejeki, entah gaji atau bonus, sedekahkan 10% nya kepada orang lain yang sangat membutuhkan. Itu jimat saya," begitu pesan Budi kepada rekannya seperti dikutip quis.co.id.   

Kini Budi berusaha menularkan kunci suksesnya itu kepada karyawannya. Spiritual company menjadi landasannya berbisnis.    Pabrik milik Budi acapkali berhenti saat azan berkumandang. Seluruh pegawainya diperintahkan berhenti bekerja. Mesin-mesin pabrik dimatikan. Ini adalah waktunya menghadap Sang Pencipta.  

Sebuah spanduk Utamakan Sholat & Keselamatan Kerja pun terpampang jelas di sejumlah alat berat miliknya. Gambar-gambarnya viral di dunia maya.    “Padahal, kalau dihitung-hitung secara logis, saya bisa ‘rugi’ 25 juta saat mematikan mesin selama lima belas menit,” jelas Budi.   Tapi, Budi punya pandangan lain. Baginya sholat adalah bukan untung rugi. "Ketika panggilan Allah telah datang, aktivitas keduniaan kita memang harus segera dihentikan. Karena seorang muslim bukan sekadar mengejar yang banyak, tetapi juga yang berkah," pesannya.  

Pernah suatu waktu di tahun 2006, Budi membeli beberapa hektar tanah dan bangunan di Cikarang, Jawa Barat. Nilai jualnya sudah berlipat-lipat dalam beberapa tahun. Tapi Budi tak punya sedikitpun niat menjualnya.  

Budi memutuskan membangun asrama santri di atas lahan itu. Ustaz Yusuf Mansur diajak menjadi mitranya. Dia tak memperdulikan berapa uang yang akan dibayar untuk tanah itu. Di depan notaris, Budi malah meminta surat tanah itu langsung dibalik nama menjadi milik Yayasan Daarul Qur’an Indonesia.   Pengusaha muda ini turun tangan sendiri membangun asrama santri I’daad putri tersebut. Ia takjub ketika mampu menyelesaikan target pembangunan dalam waktu yang secara rasional mustahil dikejar.  

"Kuncinya, manajemen proyek yang bagus dan terpenting adalah do’a para santri dan ustadz Daarul Qur’an serta para donatur," Budi membuka rahasia.  Dengan kesuksesannya saat ini, Budi semakin sadar jika sedekah bukanlah amalan yang mengurangi harta. Sedekah adalah pintu terbukanya rezeki yang berkah.

sumber : dream
Silakan share jika bermanfaat >>>

0 Response to "Sedekah Si Mantan Tukang Las Keliling"