“Allah itu indah dan mencintai keindahan”. (HR Muslim)
Tak semua tradisi yang pernah populer di masyarakat pada masa sebelum kedatangan Islam, tertolak begitu saja, sesaat setelah Risalah Muhammad SAW turun. Bahkan tak sedikit yang masih bertahan dan dipergunakan oleh Rasulullah. Hanya saja, Islam meletakkan ketentuan dan garis tegas dalam pelaksanaan tradisi itu, tanpa menafikan nilai dan estitika di baliknya. Ada banyak contohnya, termasuk menyangkut urusan sederhana sekalipun seperti penggunaan cincin sebagai hiasan.
Masyarakat pra-Islam, baik yang berada
di Jazirah Arab, atau di luar Arab, mengenal cincin tidak sekadar
sebagai hiasan semata. Cincin merupakan simbol kejayaan, status sosial,
dan simbol dari keangkuhan. Kuatnya kepercayaan bahwa ada kekuatan
mahadahsyat di balik suatu benda pada masa lalu, pada kenyataannya juga
ikut berpengaruh dalam membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat masa
lalu menyangkut cincin.
Jika melihat sejarah dan membacanya
dengan bingkai antropologi, tentu tak mengherankan mengapa keyakinan
bahwa sebuah cincin memiliki kekuatan magis dan supranatural itu
berkembang hingga saat ini. Tradisi cincin disebut-sebut muncul dan
populer pertama kali di Mesir yang terkenal kuat dengan dunia mistik dan
supranaturalnya!
Inilah mengapa Nabi Musa AS dibekali
dengan mukjizat tongkat yang bisa menjelma menjadi ular sekaligus bisa
membelah laut (tentu atas seizin-Nya), sedangkan Nabi Yusuf AS,
diperkuat dengan mukjizat takwil mimpi, kemampuannya mengungguli para
penakwil mimpi pada masanya.
Jenis Cincin meterai diketahui pertama
kali digunakan oleh masyarakat Mesir kuno antara kurun waktu 3100-332
sebelum Masehi. Peradaban Mesir kuno telah mengenal eksplorasi mineral
dan logam untuk perhiasan. Beberapa jenis mineral yang biasa digunakan
untuk membuat perhiasan antara lain cornelian, amethyst, onyx, jasper,
dan kristal kuarsa. Batu-batu itu diyakini memiliki nilai spiritual dan
khasiat.
Semula Rasulullah SAW memang enggan
mengenakan cincin. Apalagi yang berbalut emas, jelas sangat dihindari.
Pemakaian emas oleh kaum pria, dalam pandangan Islam, tidak
diperbolehkan sebab dianggap menyerupai perempuan.
Atas permintaan para sahabat, seperti
yang dinukilkan dari riwayat hadis riwayat Bukhari dan Muslim, akhirnya
Rasul mulai berkenan mengenakan cincin yang berbahan perak. Sebab,
tradisi para pemimpin negara ketika itu mereka memakai cincin, selain
bentuk status sosial juga berfungsi sebagai stempel. Mulai saat itulah,
Rasul gemar memakai cincin.
Berbagai upaya dilakukan untuk menguak
rahasia dan hikmah di balik kegemaran Rasul itu. Salah satunya seperti
yang tertuang dalam Fatawa Ibn Hajar al-Haytami al-Kubra. Buku
ini mengutip beberapa dalil dari hadis dengan beragam derajat
kesahihannya, yang berbicara perihal manfaat sunah pemakaian cincin
seperti yang dicontohkan Rasul.
Al-Haitami menjelaskan misalnya, dalam
titik tertentu penggunaan cincin itu bisa memicu keberkahan hidup dan
menjauhkan diri dari kefakiran. Bukan karena batu cincin itu mampu
mendatangkan nikmat atau //bala’//, sama sekali bukan. Melainkan nilai
estitika dan keindahan yang tersimpan menyimpan energi positif yang
berpengaruh membangkitkan semangat dan gairah pemakaianya.
Barangkali energi positif di balik
keindahan yang diciptakan oleh yang Mahaindah itulah, yang menjadikan
batu yaqut warna kuning, begitu istimewa. Meski dalil hadisnya lemah,
batu itu disebut-sebut bisa mencegah pemakainya dari penyakit sampar.
Dengan demikian, tak heran bila Rasul menyukai batu cincin dari Afrika
dan Yaman, karena keelokannya.
Apapun bentuk cincin yang dikenakan,
selama memenuhi ketentuan syari’inya, pada dasarnya akan memancarkan
energi dari keindahan yang dipancarkan. Energi tersebut tentu tidaklah
muncul dengan sendirinya. Energi datang dari Sang Mahapencipta
keindahan.
Keindahan itu hanya akan menguap begitu
saja, bila terkotori dengan keangkuhan, kesombongan, dan ambisi duniawi
dari sebuah cincin. Sebab Allah itu Indah dan mencintai keindahan.
Karena Dia pula lah sejatinya pemilik dari segala keindahan yang ada di
muka bumi.
sumber
sumber
0 Response to "Cincin, Keindahan, dan Energi Positif"
Post a Comment