Suatu hari, seorang penjual tahu berpamitan kepada ibu-ibu
pelanggannya. “Hari ini adalah hari terakhir saya berjualan tahu, sebab
besok saya sudah pindah profesi,” katanya.
Ibu-ibu itu pun terperanjat mendengarnya. “Apa yang membuatmu pindah
pekerjaan? Bukankah tahu milikmu laku terjual?” tanya Bu Laras.
Sambil cemberut, si tukang tahu menjawab, “Pekerjaan ini prospeknya
tidak bagus, kadang laku, kadang tidak. Sulit mengharapkan perbaikan
masa depan dari tahu-tahu ini. Badan malah jadi capek, kulit menghitam,
keringatan, bau lagi!”
Nenek Binggo berkata lembut, “Sabar, Nak! Menjalankan usaha itu
memang butuh kesabaran. Lambat laun usahamu pasti berkembang. Lihatlah
Pak Burhan, awalnya ia juga pedagang keliling, sekarang malah sudah jadi
bos besar. Lagi pula ke mana lagi kami hendak beli tahu kalau kamu
berhenti jualan?” , “Memangnya kau mau bekerja apa?” tanya Bu Laras.
“Tempo hari saya bertemu teman-teman semasa sekolah dulu. Kulit
mereka putih-putih dan bersih, padahal dulunya dekil. Mereka kerja
kantoran makanya badan mereka terawat. Saya malah diajak masuk ke salah
satu kantor tempat mereka bekerja. Wah, rasanya sejuk karena pakai AC.
Pakaian mereka juga bagus-bagus. Enak sekali hidup mereka!”
Nenek Binggo menasihati, “Jangan ceroboh dalam membuat keputusan,
Nak! Saya yang tua ini sudah merasakan asam garam pekerjaan. Sebelumnya
bertahun tahun saya bekerja kantoran. Hasilnya, badan capek,
terkungkung, dan sering stres. Akhirnya saya memilih keluar untuk
berwirausaha. Awalnya memang perlu bersabar, namun di kemudian hari saya
memetik hasilnya.”
“Sudahlah! Saya pun sudah patah semangat dengan tahu. Harga kedelai
yang naik turun membuat kepala makin pusing, bahkan saya terpaksa
mencampurkan tahu dengan singkong,” ujar si penjual tahu.
“Lho, dicampur dengan singkong rupanya?!” Ibu-ibu terperanjat.
“Iya, mana mungkin tahu terbuat dari kedelai saja, dicampur singkong pun untungnya tipis. Ibu-ibu sih, naik harga sedikit langsung menjerit!” balas penjual tahu dengan kesal.
Setelah perdebatan itu mereka pun membubarkan diri. Ibu-ibu pusing
memikirkan ke mana lagi hendak membeli tahu, dan tak kalah pening
setelah mengetahui tahu yang dimakan selama ini ternyata dicampur
singkong. Sementara itu, si penjual tahu tersenyum lebar, bayangan
enaknya bekerja kantoran terus berkibar-kibar.
Hari-hari pertama bekerja kantoran, mantan tukang tahu itu bangga
bukan kepalang. Satiyem, gadis tetangga, terpesona melihatnya berbaju
kemeja, bersepatu yang disemir mengkilat, dan beraroma minyak wangi yang
memabukkan.
“Berangkat kerja ya, Mas? Hati-hati di jalan ya,” sapa Satiyem
lembut. Dulunya gadis itu melihat pun tak sudi padanya. Mantan penjual
tahu itu tak mau kalah lagak, dia pun melengos begitu lewat di depan
Satiyem.
“Huh, di kantor ceweknya lebih cantik-cantik. Tidak sebanding dengan gadis penjual jamu itu,” soraknya dalam hati.
Di kantor tingkah mantan penjual tahu itu menjadi jadi, tiap sebentar
dia merapikan rambut dengan sisir, membetulkan posisi dasi, atau
membetulkan kemejanya. Dia juga merasakan kesejukan AC yang membuatnya
serasa menikmati musim salju di Eropa. Berhubung tidak punya ijazah
sarjana, diterima menjadi pesuruh kantor pun dia amat bersyukur. Dasar
rezeki, dia malah beruntung mendapat posisi di bagian administrasi. Tak
percuma dulu dia menyempatkan diri kursus komputer setamat sekolah.
Lewat seminggu mantan tukang tahu itu mulai tertekan. Jadi tukang
ketik ternyata seperti kerja rodi, apalagi dia mesti meladeni puluhan
karyawan yang rewel.
Pagi pagi sekali dia sudah berangkat ke kantor dan harusnya pukul
17.00 sudah pulang, namun tumpukan pekerjaan membuatnya terpaksa pulang
tengah malam. Dulu, sebagai tukang tahu dia mengatur diri sendiri, kini
sebagai tukang ketik dia harus mau diatur. Sebelumnya ada ibu-ibu
pelanggan tahu yang mau mendengar curhatnya, sekarang dia tak boleh
mengeluh sedikit pun. Dan kini dia pun paham mengapa meja kerjanya tidak
dihuni siapa pun sebelumnya. Rupanya posisi mejanya itu menjadi
sasaran utama semburan AC. Tak heran setiap pulang kerja tubuhnya
terasa meriang.
Mantan tukang tahu itu mencoba bersabar. Barangkali yang dialaminya
hanya masalah adaptasi, lambat laun tentu akan terbiasa. Hingga pada
akhir bulan jantungnya nyaris copot, gaji yang diterimanya hanya
setengah dan penghasilannya sebagai tukang tahu. Dia tak percaya, di
balik pakaian necis dan kantor mewahnya, penghasilanya malah tidak cukup
untuk menutupi biaya hidup. Diam diam dia pun membawa bekal dari rumah
dalam rangka penghematan. Hal yang membuatnya kuat adalah pujian dan
kekaguman yang terus diterimanya dari tetangga dan teman-teman.
Sabar itu sikap yang positif. Namun, penantian si mantan tukang tahu
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan kulit putih tak kunjung
tiba. Kulitnya malah memucat karena jatuh sakit. Akhirnya dia memilih
mengundurkan din. “Ternyata saya tidak cocok dengan kerja kantoran,
saya malah lebih suka menjadi tukang tahu. Tidak ada yang mengatur,
menyenangkan, dan hasilnya lumayan,” ujarnya pada Satiyem yang datang
menjenguk. Dia juga minta maaf atas lagak sombongnya selama bekerja
kantoran.
Setelah pulih, si tukang tahu kembali berkeliling di perumahan.
Bedanya, kali ini dia tampil lebih bersih dan wangi. “Tukang tahu tak
harus bau!” ujarnya pada Satiyem saat berangkat dan rumah.
Sayangnya, ibu-ibu pelanggannya dulu tidak satu pun yang mau membell tahunya. “Maaf, kami sudah membelinya,” jawab mereka.
Ternyata begitu dia memutuskan menjadi tukang ketik, ada tukang tahu
lain yang menggantikan posisinya. Tukang tahu pengganti itu datang
lebih pagi hingga mendapatkan pelanggan lebih banyak, dan tahunya pun
lebih enak sebab tidak dicampur singkong. Kejutan berikutnya, penjual
tahu baru itu adalah temannya sendiri yang semula bekerja kantoran. Si
penjual tahu yang kembali ke profesi awalnya itu pun hanya bisa
tertunduk lemas.
Allah SWT juga menjamin akan memberikan nikmat yang lebih banyak lagi
kalo kita mau bersyukur / berterima kasih kepada Allah SWT : “
Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya, sungguh azab-Ku sangat keras ” Surat Ibrahim 7 (Q 14:7)
walau nikmat dan apa yang kita capai saat ini belum seperti apa yang kita harapkan :
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
0 Response to "Tukang Tahu"
Post a Comment