Ketika sekelompok orang yang dituduh terafiliasi Daulah
Islam (ISIS) menggunakan pistol dan granat untuk melakukan serangan
mematikan di Jakarta, pada Kamis, (14/01), para pejabat polisi Indonesia
dan pengamat terorisme seperti Nasir Abbas segera membandingkannya
dengan serangan brutal di Paris pada akhir tahun lalu yang menewaskan
130 orang.
Memang ada sejumlah titik persamaan.
Pertama, baik di Jakarta maupun di Paris, serangan itu terjadi di jantung ibukota yang sangat ramai.
Kedua, sama-sama menggunakan senjata dan bahan peledak, dan keduanya diklaim oleh ISIS. Ketiga, serangan
di Paris dan Jakarta juga merenggut sejumlah korban: setidaknya dua
warga sipil tewas dalam serangan Jakarta, yang melukai 23 orang lain,
termasuk lima polisi. Lima pelaku terbunuh dalam serangan itu – beberapa
di antaranya dengan bom bunuh diri- dan kabarnya, polisi telah
melumpuhkan empat orang pelaku lainnya.
Tapi, bom Sarinah alias serangan Jakarta juga berbeda secara
signifikan dari serangan Paris. Meskipun ada klaim konektivitas dengan
jaringan ISIS, serangan Jakarta menunjukkan adanya bukti motivasi lain
dan pola spesifik untuk Indonesia. Kemungkinan, hal itu dilakukan
untuk menanggapi kondisi tertentu di Indonesia, dan tidak dapat dipahami
di luar konteks sejarah Indonesia dari gerakan kekerasan yang tumbuh
subur di dalam negeri serta aksi represif pemerintah yang
kerap berkampanye menentangnya.
“Ini adalah serangan brutal di pusat Jakarta Pusat selama jam makan
siang, tapi yang mengejutkan adalah jumlah korbannya begitu rendah,”
Judith Jacob, seorang analis terorisme dan keamanan yang berbasis di
Singapura.
“Serangan itu tidak berada dalam level yang sama dengan serangan
sporadis yang kita lihat di Istanbul atau Paris,” tambahnya seperti
dikutip dari Foreign Policy.
Serangan itu juga secara jelas memperlihatkan kepada publik
bahwa warga sipil bukanlah target utama. Para penyerang tampaknya
memfokuskan serangannya pada daerah sekitar pos polisi yang kecil di
tengah-tengah Jalan Thamrin, sebuah jalan raya yang menghubungkan
bundaran Hotel Indonesia.
Ketika Presiden Barack Obama mengunjungi Jakarta pada tahun 2010, ia
melaju di Jalan Thamrin sebagai bagian dari perjalanan sentimental
melalui kota yang pernah ia tinggali sebagai seorang bocah.
Daulah Islam (ISIS) mengaku bertanggung jawab atas serangan itu –
yang mana ini merupakan pertama kalinya di Asia Tenggara. Kepolisian
Indonesia mengidentifikasi Bahrun Naim, warga negara Indonesia yang
diduga saat ini berada di Raqqa, ibukota ISIS di wilayah Suriah.
Naim adalah pemimpin dari Katibah Nusantara, sebuah kelompok yang
diduga telah menjadi penghubung antara Daulah/ISIS di Suriah dengan
militan Islam di Indonesia dan Malaysia. Katibah Nusantara memiliki
sekitar 100 anggota pada tahun 2014, tetapi “ada indikasi bahwa kelompok
itu telah tumbuh berkembang dan sedang ditempatkan di daerah yang
berbeda,” kata Sidney Jones, direktur Institute for Policy Analysis of
Conflict yang berbasis di Jakarta, mengatakan Kebijakan Luar Negeri pada
September 2015 lalu.
Bahrun Naim, telah menyerukan kelompok militan Islam Indonesia untuk
“meniru serangan Paris di Jakarta,” kata Jacob. Tapi masih sedikit
menimbulkan pertanyaan: Seberapa jauh jihadis Indonesia dapat
memanfaatkan peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Paris untuk
melanjutkan ambisi gerakan jihad di Indonesia?
Lingkaran kekerasan
Aparat keamanan di Indonesia telah lama bergulat dengan kelompok
jihad di Indonesia. Mereka juga telah lama menjadi target. “Aparat
keamanan sangat besar kemungkinannya untuk dijadikan sasaran,” kata
Jacob, meskipun serangan pada Kamis itu sedikit janggal karena masuknya
pelaku dari arah kafe Starbucks di Mal Sarinah, sebuah mal tertua di
Jakarta yang berseberangan dengan pos polisi.
“Pada saat ini kami masih melakukan penyelidikan menyeluruh dan belum
ada kesimpulan yang tetap,” kata Budi Bowoleksono, Duta Besar Indonesia
untuk Amerika Serikat.
Santoso alias Abu Wardah, komandan Mujahidin Indonesia Timur (MIT)
yang pernah berbaiat pada ISIS, sebelumnya dikenal telah melakukan
sejumlah serangan terhadap polisi. Ia bersama pendukungnya yang berbasis
di daerah sekitar kota Poso, kerap melancarkan serangan dan diburu atas
hal itu hingga kini.
“Serangan yang ditargetkan terhadap polisi hanya meningkat setelah
pasukan polisi mulai mengejar kelompok radikal di Poso, yang telah
menjadi tempat persembunyian mereka untuk beberapa waktu, sejak 2011
atau 2012,” kata Fitriyan Zamzami, editor urusan nasional Republika.
“Polisi dan kelompok radikal seolah berada dalam satu pertarungan di
Poso sejak itu.”
Zamzami mengatakan polisi mungkin telah memicu serangan dengan
meluncurkan tindakan keras terhadap tersangka teroris dalam negeri tak
lama sebelum Natal 2015. Beberapa di antaranya, sekitar 16 orang telah
ditahanoleh polisi dan Densus 88 pada bulan lalu.
“Hampir tidak ada pekan yang berlalu tanpa ada kejadian polisi
menangkap seseorang di suatu tempat yang mereka kemudian mengaku menjadi
simpatisan ISIS,” katanya. “Penangkapan oleh polisi Indonesia mungkin
mendorong mereka menjadi penyerang,” tambah Zamzami.
Serangan di Sarinah pada Kamis ini menunjukkan pola serangan yang
terus menerus menargetkan polisi. Meskipun ada kekhawatiran menyasar
warga sipil.
“Mungkin ini hanya aksi balas dendam terhadap polisi, tapi saya juga
melihat ada fakta bahwa peristiwa itu berada dalam area publik, dan saya
melihat ancaman gerakan militann mulai tumpang tindih dengan ISIS
sehingga mereka sukar dibedakan,” tutur Ryan Greer, peneliti dalam
Proyek Keamanan Nasional Truman.
Sumber: Foreign Policy
Penulis: Fajar Shadiq
Penulis: Fajar Shadiq
Silakan share jika bermanfaat >>>
0 Response to "[ Analisis] Ini Bedanya Bom Sarinah dan Serangan Paris"
Post a Comment