Hari
cerah itu Wahyudin (24) tersenyum bangga bercerita akan perubahan yang
dialaminya. Sebuah capaian yang mungkin siapa pun tak akan menyangka,
tetapi terbukti benar adanya.
Dua tahun lalu Wahyu masih ditemui
memanggul karung berisi kardus-kardus bekas yang siap dijual per
kilogramnya. Sebuah profesi yang dia lakoni sejak usia 10 tahun dan
duduk di bangku kelas IV Sekolah Dasar, pemulung.
Tak seperti
kebanyakan anak yang barang tentu didukung orang tua untuk sekolah,
Wahyu harus pikir berkali-kali untuk minta restu kedua orang tuanya
untuk meneruskan jenjang SD. Saudara-saudaranya bahkan harus putus
sekolah dan membantu ayahnya bekerja untuk sekedar mengisi piring.
“Saya
waktu kecil SD itu mikir, ‘aduh habis deh nih, kalau kakak-kakak enggak
sekolah berarti saya enggak sekolah dong? Karena kan satu sumber
keuangannya’. (Tapi) saya enggak mau terima nasib, saya harus keluar
dari rantai kemiskinan,” ungkap Wahyu saat kembali berbagi cerita di
Kantor Redaksi detikcom, Warung Buncit, Jakarta Selatan, Jumat
(19/6/2015).
http://ide-inspirasi-nasihat.blogspot.co.id
Wahyu adalah anak sulung dari tiga bersaudara dan
ibunya adalah istri kedua dari ayahnya. Dari pernikahan dengan istri
pertama, ayahnya memiliki lima orang anak.
Ayahnya bekerja
sebagai buruh tani yang juga melayani jasa ojek. Ibunya pun bertani
dengan menggarap tanah orang yang hasilnya hanya cukup untuk makan,
bukan untuk sekolah.
“Saya putusin jalan ke tetangga untuk
mulung. SD kebutuhan makin besar saya tambah mulung dan gembala kambing,
udah SMP tambah jualan gorengan, SMA tambah mulung, gembala kambing,
mengajar les disambi on air jadi penyiar, jualan susu murni, dagang
asongan di pinggir rel, semua ada 7 profesi di luar sekolah,” papar
Wahyu penuh semangat.
Memikul 7 profesi itu pun tak lantas
membuat prestasinya mengendur. Peringkat di kelas tetap dia sabet hingga
akhirnya mendapat jalan untuk berkuliah.
“Sekolah tetap dapat ranking, di S1 juga IPK saya 3,85,” ujar dia.
Wahyu
menempuh jenjang sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah
Prof Dr Hamka (Uhamka). Dia diwisuda pada tahun 2013 dan masih
berprofesi sebagai pemulung.
“Saya lulus dari Uhamka 2013 akhir,
di situ saya memang sebelum lulus udah dapet beasiswa S2 duluan karena
waktu itu diwawancara detikcom bulan Maret, belum lulus. Dari saya
pribadi setelah muncul di detikcom itu saya banyak dikenal orang dan
dari Kemendikbud datang ke rumah saya. Salah satu stafnya bilang, saya
dapat beasiswa unggulan walau tanpa tes. Saya boleh kuliah di luar
negeri, bebas pilih negara mana saja,” tutur pemuda itu.
Waktu
yang ada di angan Wahyu hanya satu hal, luar negeri pertama yang ingin
dia injak adalah kota Mekah di Arab Saudi untuk beribadah. Selain itu
dia tak mau dan akhirnya memutuskan untuk ambil beasiswa di dalam negeri
saja.
Berkonsultasilah Wahyu kepada pihak kementerian dan itu
dikabulkan. Program Magister of Bussiness Administration (MBA) ITB
kampus Jakarta dia tunjuk sebagai kelanjutan dari langkahnya, namun
harus melalui tes.
“Waktu saya mau ke ITB ada tes bahasa Inggris
dan matematika nilainya 7,8. Toefl-nya harus 475 kalau tidak salah. Saya
belum pernah tes karena orang tua sederhana, enggak pernah kursus
bahasa Inggris sama sekali tiba-tiba mau S2 pelajarannya full English,”
kata dia.
Tapi tak ada halangan yang tak bisa dilalui, pikir dia.
Mulailah Wahyu belajar bahasa Inggris di dapur dan ditemani oleh
temannya yang bernama Rizky Yusuf.
Awalnya dia hanya belajar
tulisan saja, sementara di perkuliahan dia butuh untuk lancar
berkomunikasi. Kursus English Conversation? Mahal!
Akhirnya
ketika sedang ke Pasar Jatinegara, Jakarta Timur dia melihat ada orang
asing sedang berjalan-jalan dan dipandu seorang tour guide perempuan.
Dia tinggalkan dulu karung memulung dan dagangan lainnya untuk ‘merayu’
sang tour guide agar bisa menggantikan.
“Saya bilang sama Mbak
tour guide-nya kalau saya mau kuliah, saya pemulung, saya enggak punya
uang buat kursus jadi saya mau jadi tour guide biar praktik langsung
buat tes wawancara. Sambil becek-becek nyeker (tak beralas kaki, -red)
saya keliling-keliling dan jelaskan tentang Jatinegara,” kenang Wahyu.
“Bagaimana,
Mister? Bahasa Inggris saya jelas enggak?” tanya dia waktu itu dan
dijawab, “Oh iya, jelas,” dalam bahasa Inggris pula.
Rasa percaya
diri sedikit meningkat saat itu, tetapi Wahyu masih belum puas. Sedikit
berdandan rapi, Wahyu pun memberanikan diri untuk menginjakkan kaki ke
Pondok Indah Mall dan ke arena ice skating di Mall Taman Anggrek.
Sekedar untuk bertemu bule.
Akhirnya dengan modal berbincamg
dengan 3 orang asing, Wahyu lolos tes. Sukseslah dia menyandang status
sebagai mahasiswa magister ITB.
Sejak kecil dia mengumpulkan uang
untuk sekolah, dan kini dia sudah merengkuh magister. Semua itu berawal
dari semangat dan karung yang selalu dipikul saat memulung.
“Ketika
S2 ini pun prosesnya hampir sama, saya menyamar, saya sembunyikan
identitas pemulung saya. Saya pakai baju bagus dibeliin kakak angkat
saya, kak Muhammad Habsyi. Pas semester 2 baru mereka tahu saya pemulung
dan mereka semua pada kaget,” tutur Wahyu.
“Saya terbiasa dari
kecil itu walau pun saya miskin, saya gembel, saya enggak mau
orang-orang itu ngerendahin saya. Saya selalu menyembunyikan identitas
saya, kalau saya sedih saya simpan sendiri kalau bahagia saya share ke
orang-orang,” ungkap dia melanjutkan.
Berceritalah dia bagaimana
dahulu selalu menyembunyikan kartu tagihan SPP hingga S1 dari orang tua
kandungnya. Disembunyikannya kartu itu di bawah bantal agar ibunya tak
tahu bahwa biaya kuliah per semester adalah Rp 5.250.000.
“Kalau
kartu bayaran itu engga boleh kasih tahu orang tua, harus taruh di bawah
bantal sendiri, bayaran saya harus pusing sendiri, nangis sendiri,
laporan ke guru BP izin setiap semester itu sudah biasa waktu kuliah di
Uhamka. Tapi kalau saya dapat ranking, juara, terpilih jadi pemuda
pelopor kota Bekasi itu saya share saya kasih tau Emak. ‘Saya ranking
loh, saya dapat juara ini loh Mak’,” kata pemuda tersebut.
Ya,
buah dari niat membahagiakan orang tua itu pun amat manis dikecapnya.
Kini Wahyu hampir menyelesaikan jenjang magister di ITB.
Masih
ingat dia ketika dahulu harus memulung mulai pukul 01.00 WIB sampai
waktu subuh. Usai mandi dan berpakaian seragam, dia berjualan gorengam
dan dititipkan di pos satpam.
Sepulang sekolah setelah istirahat
sebentar dia kembali memulung hingga pukul 22.00 atau 23.00 WIB. Tak
jarang Wahyu tidur hanya 2-3 jam di tumpukan karung hasil memulung.
“Setiap
ke sekolah saya bawa balsam atau minyak kayu putih. Saya oleskan dekat
mata supaya panas dan tidak mengantuk. Saya tidak mau ketinggalan
pelajaran hanya karena tertidur. Saksinya adalah teman-teman SMA dan
kebiasaan itu terus sampai saya kuliah S1,” tutur Wahyu.
Di akhir
2013 bisa dibilang karier sebagai pemulung hampir berakhir. Dia
mendapat modal dari seorang WNI di Australia sebesar Rp 4 juta yang
kemudian dipakai untuk merintis usaha ternak entok (sejenis itik)
“Setelah S2 saya mau ambil S3 gelar PhD ke luar negeri,” ucap Wahyu sambil menyunggingkan senyumnya.
Sumber : detik.com
Silakan share jika bermanfaat
0 Response to "[ Kisah Nyata ] Pemulung Ini Lulusan S2"
Post a Comment