Tanda 0 km Anyer-Panarukan. (VIVA.co.id/ Dody Handoko) |
Saat
mudik lebaran, jutaan pemudik dari Jakarta atau Banten
berbondong-bondong pulang ke Jawa Tengah atau Jawa Timur. Jika memakai
jalur darat, mereka akan melewati jalan pantai utara Jawa (pantura).
Jalan ini lebar dan mulus beraspal. Mereka yang melewati jalan pantura itu tak bakal membayangkan, dulu pembuatannya merenggut belasan ribu nyawa manusia.
Jalan maut itu dikenal dengan nama Grote Postweg (Jalan Raya Pos), populer disebut Jalan Daendels. Panjang jalan di sisi utara Jawa ini dari Anyer di ujung barat sampai Panarukan di ujung Timur, dengan panjang total mencapai kurang lebih 1000 km.
Pembangunan jalan ini memakan korban jiwa sangat banyak. Namun banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur. Menurut sumber dari Inggris, yang meninggal sekitar 12.000 orang. Banyak yang meningal tanpa dikuburkan secara layak.
Dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Pramoedya Anantatoer menceritakan secara terperinci tentang jalan Daendels itu. Ketika Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels tiba di Jawa, dia memutuskan untuk membangun jalur transportasi di sepanjang bagian utara Jawa, untuk melindungi pulau Jawa di bawah kekuasaan Prancis dari serangan Inggris. Dengan adanya jalan ini, mobilisasi pasukan Belanda akan menjadi sangat cepat.
Pembuatan jalan Deandels saat itu dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia–Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon).
Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor).
Tahap kedua dimulai tahun 1809, dari Anyer melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya.
Sampai di kota Sumedang pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang, Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran.
Para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh mencapai 5.000 orang.
Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Banyak para pekerja paksa yang kelelahan dan kelaparan itu menjadi korban malaria.
Daendels juga sempat memerintahkan pembuatan jalan di selatan Pulau Jawa, rutenya di mulai dari sebelah barat Jawa yakni; Bayah menuju Pelabuhan Ratu, terus ke selatan ke daerah Sukabumi, Cimanuk dan seterusnya hingga ke Pangandaran, Purwokerto dan Yogyakarta.
0 Response to "Mengungkap Belasan Ribu Korban Pembangunan Jalan Daendels"
Post a Comment