Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding
menyimpan perasaan mendalam pada seseorang. Pengakuan itu belum sempat
terucap, tetapi dia yang aku cintai sudah pergi selamanya. Dia pergi
tanpa tahu bahwa aku mencintainya.
Sebut saja namaku Putri, aku
berusia 25 tahun saat kisah ini terjadi. Kisahku mungkin klise, aku
jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Panji. Dia adalah kakak kelasku
saat kami masih sekolah di SMA yang sama. Saat kelas tiga, dia pindah ke
kota lain. Tetapi takdir mempertemukan kami kembali di kampus yang
sama, saat kami menempuh kuliah S2.
Ada satu hal yang selalu aku
simpan dalam hatiku, aku jatuh cinta padanya. Sejak masih duduk di
bangku SMA, aku selalu curi-curi pandang ketika jam istirahat. Kadang
aku sengaja pamit ke toilet hanya untuk melihatnya bermain basket saat
kelasnya ada pelajaran olahraga. Walaupun hanya menatapnya selama 5
menit, rasanya kebahagiaanku penuh sepanjang hari.
Remaja selalu
malu-malu mengungkapkan isi hatinya, apalagi aku yang memang punya sifat
pemalu. Hampir tidak ada sinyal cinta yang aku kirim padanya. Aku tidak
seberani teman-temanku yang bisa titip salam atau terang-terangan
mengatakan suka pada cowok yang mereka suka. Jadilah aku memendam
perasaanku. Mungkin ini masih cinta monyet, yang akan memudar seiring
berjalannya waktu. Dan suatu saat kelak, aku akan benar-benar jatuh
cinta di tingkat yang lebih serius dengan pria lain.
Nyatanya
perkiraanku salah. Walaupun saat kuliah S1 aku sempat berpacaran dengan
pria lain (namanya Yanuar), aku tetap meletakkan kenangan akan Panji
dalam hatiku. Singkat cerita, saat aku mengambil S2, aku bertemu lagi
dengan Panji. Takdir tersebut membawaku pada rahasia yang terpendam.
Hatiku kembali berdetak, kembali merasakan indahnya jatuh cinta hanya
dengan menatap kedua matanya. Perasaan yang tidak pernah aku rasakan
dengan Yanuar.
Beberapa kali kami berada di kelas yang sama. Dia
masih Panji yang ramah dan suka bercanda. Hubungan kami tetap dekat,
tapi tetap saja, tidak ada keberanian untuk mengungkapkan rasa cintaku
padanya.
Bagaimana aku bisa menyatakan perasaanku, ada Yanuar yang masih
menjadi pacarku. Egois memang, aku bahkan sering merasa bersalah pada
Yanuar, tapi aku tidak bisa membohongi hatiku. Jika saja Panji
mengajakku untuk jadi kekasihnya, atau bahkan istrinya, aku tidak akan
menolak.
Sayangnya, takdir yang mempertemukan kami harus berakhir.
Suatu hari, di sebuah musim penghujan di akhir bulan Desember, Panji
mengalami kecelakaan. Dua hari dia dirawat di UGD, tetapi nyawanya tidak
tertolong. Dia pergi selama-lamanya.
Duniaku hancur,
setiap inci tubuhku menjerit akan kepergiannya,
aku bahkan tidak bisa lagi merasakan sakitnya hatiku,
seolah ada bagian tubuhku yang hilang,
jika diibaratkan, aku bagai guci yang pecah berkeping-keping.
Aku
hadir dalam pemakamannya.
Aku hadir dalam setiap acara doa yang
dilakukan keluarganya setiap malam.
Di duka yang teramat sangat, ibu
Panji memintaku untuk menemaninya,
setelah para tamu pulang.
"Mbak,
mbak ini temannya Panji yang namanya Putri kan?" ujar wanita tua itu.
Aku bisa melihat ada duka mendalam di balik senyumnya.
Aku mengangguk, lalu wanita itu mengajakku ke sebuah ruangan,
yang menurutnya adalah kamar Panji.
Wanita
itu menceritakan sebuah rahasia yang tidak aku ketahui.
"Anak ibu..
Panji, dia pernah bilang bahwa dia suka dengan Putri, cinta,"
lanjutnya. Detik
demi detik berlalu,
aku mendengarkan pengakuan ibu Panji
bahwa putranya
ternyata memendam rahasia.
Ternyata selama ini Panji melakukan hal yang
sama denganku,
diam-diam merahasiakan perasaannya. Bahkan sejak masih
di bangku SMA.
"Waktu itu Panji pernah bilang, sekarang Putri
sudah punya pacar,
mungkin harus menunggu nak Putri putus dulu, baru dia
berani jujur,"
lanjut ibu Panji dengan air mata yang jatuh dari pelupuk
matanya.
Aku tidak bisa menahan air mataku, aku menangis di dalam pelukan ibu Panji.
Aku menangis hingga dadaku terasa ingin meledak.
Aku menyesal,
sangat menyesal.
Aku tidak sempat mengatakan bagaimana perasaanku padanya.
Hingga
detik ini, penyesalan itu masih ada.
Masih mengganjal di dalam lubuk
hatiku yang terdalam.
Rasanya bahkan jauh lebih berat dibandingkan saat
Panji masih hidup.
Kau bisa mendengar doa-doaku tiap malam, Panji?
Aku merindukanmu.
0 Response to "[RENUNGAN]Semua Sudah Terlambat Saat Aku Tahu Kau Mencintaiku"
Post a Comment