Ill.google |
Menunaikan ibadah haji di Mekah harusnya menjadi momentum agung bagi
seorang hamba untuk menjalin kedekatan dengan Allah. Di sanalah jutaan
umat manusia dari berbagai penjuru dunia berkumpul, bersimpuh khusuk
menggelar ritual ibadah haji (manasik). Menghikmati keagungan Allah
subhanahu wa ta’ala. Sungguh mulia orang yang diberi kesempatan berhaji,
dan sungguh indah orang yang menikmati perjalanan meniti ibadah haji.
Tapi tidak begitu yang dialami oleh Mbah Rusminto (70 tahun).
Perjalanan haji justru menguak tabir aib yang selama ini dipendamnya.
Ka’bah dan kesakralan tanah suci bagai membelejeti perilaku-perilaku
buruk yang dilakukannya selama ini.
Aib-aibnya tergambar jelas
dalam sikap dan perilaku anehnya selama di tanah suci. Semua itu terjadi
secara spontan di luar jangkauan nalarnya. Orang-orang pun, terutama
beberapa tetangganya yang bersama-sama satu rombogan dengannya,
terbelalak. Sehingga terkuaklah rahasia di balik siapa sebenarnya Mbah
Rusminto. Perilaku apa saja yang telah mengantarnya mempunyai
perilaku-perilaku yang aneh selama di tanah suci? Berikut ini kisah
selengkapnya. Nama-nama dan tempat peristiwa dalam cerita ini telah
disamarkan. Bila terjadi kesamaan, hal itu hanya kebetulan belaka.
Perilaku Aneh dan Menjijikkan.
Berhaji bagi penduduk desa Mekarsari, sebuah kampung di pelosok
Propinsi Jawa Tengah, memang merupakan sebuah prestise. Sehingga tak
sedikit penduduk yang berkeinginan untuk naik haji sekedar untuk
menaikkan citra diri mereka. Setelah berhaji, mereka akan dipanggil “Pak
Kaji” atau Mbah Kaji”. Duh, senangnya hati dipanggil seperti itu.
Terasa begitu terhormat dan penuh wibawa.
Motif itu pula yang
melecut Mbah Rusminto untuk bisa segera berangkat haji. Terbayang di
pelupuk matanya, sepulang dari haji, dirinya akan dipanggil “Mbah Kaji”
oleh tetangga-tetangganya., bahkan oleh seluruh warga di kampungnya.
Orang-orang akan semakin menaruh hormat kepadanya. Atau paling tidak
merasa segan kepadanya. Hmm, sungguh membanggakan sekali, begitu
barangkali pikiran Mbah Rusminto. Dengan predikat “haji”, hari-hari
tuanya setelah ditinggal mati oleh istrinya akan dilalui dengan segudang
hormat dan segan dari masyarakat.
Sebenarnya Mbah Rusminto
bukanlah tergolong orang berada. Karena itu, untuk membayar ongkos haji,
ia harus pontang-panting sabet sana-sabet sini, termasuk di antaranya
harus ngutang (berhutang) dan merelakan sebagian besar tanahnya terjual.
Padahal, beberapa bagian tanah itu adalah milik anaknya yang telah ia
berikan, tapi akhirnya diminta kembali olehnya. Semua itu semata untuk
memenuhi hajat ‘nafsunya’ agar dapat memiliki prestise sebagai seorang
haji di mata masyarakat.
Sebagaimana layaknya orang yang akan
berangkat haji, Mbah Rusminto pun mengadakan acara kenduri dan pengajian
dengan mengundang karib kerabat dan orang-orang kampung. Hingga waktu
yang telah ditentukan, ia pun akhirnya berangkat haji bersama-sama
beberapa tetangganya satu rombongan.
Tak ada yang aneh saat
perjalanan menuju ke tanah suci. Namun, sesampainya di Mekah, mulailah
terjadi hal-hal aneh dan ganjil yang dialami oleh Mbah Rusminto. Di
Masjidil Haram, misalnya, tiba-tiba Mbah Rusminto mengeluarkan dahaknya
dari tenggorokan dan kemudian meludahkannya ke lantai masjid. Tentu saja
orang-orang yang melihat tingkah Mbah Rusminto itu terkejut bukan main.
“Lho Mbah, kok jenengan ngidu ning tegel? (Lho Mbah, kok Anda meludah
di lantai?)” tegur Kiai Ahmad, pemimpin rombongan yang memimpin
rombongan di mana Mbah Rusminto ikut di dalamnya.
Dan anehnya,
mendengar teguran Kiai Ahmad, bukannya Mbah Rusminto membersihkan dahak
kental yang berjuntai di lantai masjid itu, tapi Mbah Rusminto malahan
memungut dahak itu dengan tangannya dan memasukkannya ke dalam gelas
plastik yang dibawanya. Begitu seterusnya hingga dahak itu banyak dan
hampir memenuhi gelas plastik yang dibawanya. Lalu terjadilah keanehan
selanjutnya. Di luar dugaan orang-orang, Mbah Rusminto kemudian meminum
dahaknya itu tanpa sedikit pun rasa jijik. Lagi-lagi orang-orang dibuat
heran.
“Lho riyak kok diombe Mbah? (Lho, dahak kok diminum
Mbah?)” tanya Kiai Ahmad dengan rasa jijik melihat tingkah Mbah Rusminto
itu. Eh, yang ditanya malah cengar-cengir saja seperti orang yang tak
bersalah. Sedang orang-orang yang melihat merasakan jijik yang amat
sangat. Kiai Ahmad sendiri bahkan mengaku tidak doyan makan selama
berhari-hari bila teringat perilaku menjijikkan Mbah Rusminto meminum
dahaknya sendiri. Setiap kali makan dan teringat peristiwa menjijikkan
itu, Kiai Ahmad selalu muntah-muntah.
“Hilang” Diajak Anaknya
Berbagai manasik telah dilalui Mbah Rusminto beserta rombongannya.
Manasik selanjutnya adalah ke Arafah. Setelah wukuf, sekitar jam 12.00,
semua rombongan bermunajat kepada Allah di luar tenda. Namun, Mbah
Rusminto malah ogah-ogahan duduk-duduk saja di tenda.
Saat di
Muzdalifah, Mbah Rusminto tak mau mencari kerikil (batu kecil) sendiri.
Ya, akhirnya ada tetangganya yang mengalah mencarikannya. Kemudian,
rombongan menuju Mina untuk melempar jumrah. Di sana, Rusminto malah
“menghilang”. Entah ke mana orang-orang nggak tahu.
Menurut
pengakuannya setelah ditemukan, ia tadi diajak pergi oleh salah seorang
anaknya yang bernama Sardi. Ini tentu aneh sekali, karena Sardi anaknya
itu tidak ikut haji. Anehnya, Mbah Rusminto tidak merasakan kejanggalan
itu. Akhirnya, Mbah Rusminto tidak melempar jumrah sendiri.
Saat
rombongan kembali ke Mekah untuk thawaf wada (thawaf yang terakhir), nah
saat itulah Mbah Rusminto “menghilang” lagi. Tak ada yang tahu ke mana
perginya. Dan yang mengejutkan, setelah tiba-tiba ia nongol, dari mulut
Mbah Rusminto terlontar omongan yang seolah tanpa disadarinya seperti
orang meracau. Dalam omongannya itu, Mbah Rusminto justru menguak aib
yang selama ini disimpannya rapat-rapat.
“Aku ini bukan anaknya
Marto. Yang anaknya Marto itu Sartono. Aku minta tanahnya Sartono itu
dengan membayar pembela 2 juta,” itulah di antara kata-katanya tanpa
ditanya di hadapan teman-teman serombongan yang sebagiannya adalah
tetatangga-tetangganya sendiri.
Malam Jum’at, rombongan sampai di
Madinatul Hujat, siangnya setelah shalat Jum’at, Mbah Rusminto mengaku
diajak lagi oleh “Sardi”, anaknya. Anehnya, Mbah Rusminto bagai kerbau
dicocok hidungnya, menuruti saja ke mana pun diajak oleh “Sardi” dan
tidak merasa kalau dirinya tersesat. “Hilangnya” Mbah Rusminto membuat
kebingungan teman-temannya satu rombongan. Untungnya, akhirnya Mbah
Rusminto dapat ditemukan.
Ada apa di balik semua kisah yang terjadi pada Mbah Rusminto?
Menarik Hibah tanpa Alasan
Ternyata memang, semua rangkaian keanehan dan keganjilan yang dialami
oleh Mbah Rusminto selama menunaikan ibadah haji adalah sebagai cerminan
dari perilaku jahatnya selama ini. Seolah-olah Allah hendak
memperlihatkan kebesaran-Nya dengan menguak tabir aib hamba-Nya yang
berbuat jahat. Kesucian Mekah seolah tak bisa menerima orang-orang jahat
seperti Mbah Rusminto yang hajinya pun tidak ikhlas, tapi hanya memburu
prestise diri, yaitu gelar “Haji” semata.
Lalu, apa saja perilaku jahat Mbah Rusminto?
Menurut penuturan Kiai Ahmad, sebelum berangkat haji, Mbah Rusminto
telah memberi hibah kepada anak perempuannya berupa sebidang tanah.
Namun tiba-tiba ia memintanya kembali tanpa alasan yang pasti, sehingga
anaknya pun merasa sakit hati.
Meminta kembali hibah yang telah
diberikan kepada anak memang boleh secara syari’at. Tapi, menurut Kiai
Ahmad, dengan syarat, alasannya harus benar dan dengan kerelaan si
penerima hibah. Bila tidak, sama saja orang itu meludah kemudian
menjilat dan menelan kembali ludahnya itu. Kiai Ahmad mengutip sebuah
hadits, “Orang yang meminta kembali atau membatalkan sedekah/hibahnya,
bagikan anjing yang muntah, kemudian meminum kembali muntahannya.” (HR.
Bukhari).
Dan hal itu telah terjadi pada Mbah Rusminto ketika di
Masjidil Haram. Ia telah meminum dahaknya sendiri yang dimuntahkannya
tanpa rasa jijik sedikitpun. Na’udzubillahi min dzalik.
Sedangkan
Sardi yang selalu “mengganggu” Mbah Rusminto dengan selalu mengajak
pergi Mbah Rusminto selama di tanah suci, adalah anak Rusminto yang
menghutanginya sejumlah uang, namun sampai ia berangkat haji, ia belum
membayar hutangnya tersebut. Padahal Sardi sangat membutuhkan uang itu.
Karenanya Sardi sebenarnya tidak rela dengan tindakan ayahnya itu.
Soal pengakuan Mbah Rusminto di Mekah bahwa ia bukannya anaknya Marto,
menurut Kiai Ahmad, adalah karena kecurangan dan ketamakannya terhadap
harta. Mbah Rusminto meminta warisan yang ditinggalkan Marto, yang
sebenarnya bukan ayahnya. Sebab ketika ibunya bercerai dengan Marto,
ibunya belum hamil.
Mbah Rusminto adalah anak hasil perkawinan
ibunya dengan orang lain, tidak dengan Marto. Jadi, Mbah Rusminto
bukanlah anak dari Marto. Namun, karena gila harta, Mbah Rusminto
mengaku-aku sebagai anaknya Marto dan meminta bagian warisan kepada
Sartono, anak kandung Marto yang sebenarnya.
Cara Mbah Rusminto
meminta bagian warisan itu pun dengan menghalalkan segala cara. Mbah
Rusminto secara diam-diam menteror dan mengintimidasi Sartono sehingga
membuat Sartono nyaris stress dan linglung. Kasus permintaan bagian
warisan itu sendiri sebenarnya sempat dibawa ke pengadilan. Tapi,
akhirnya Mbah Rusminto dapat memenangkan perkara itu karena untuk
mencapai ambisinya itu, ia berani membayar pengacara (advokad) agar
memenangkan dalam persidangan. Persis seperti pengakuannya ketika di
Mekah.
Akibatnya, saat berhaji, Mbah Rusminto menjelma seperti
orang linglung. Perilakunya aneh dan sak karepe dhewe (semaunya
sendiri). Bahkan ia pun menguak aibnya sendiri yang selama ini
ditutup-tutupinya dengan rapat-rapat di hadapan rombongan haji yang tak
lain beberapa di antaranya adalah tetangganya sendiri.
Begitulah
nasib Mbah Rusminto. Tidak bisa beribadah haji dengan baik akibat
ulahnya sendiri. Bahkan angan-angan Mbah Rusminto untuk menggapai
prestise sebagai seorang “Mbah Kaji” yang disegani dan dihormati tidak
tercapai. Alih-alih tercapai, bahkan aibnya yang selama ini dipendamnya
rapat-rapat malah terkuak, yang akhirnya malah menghancurkan namanya.
Masa tua Mbah Rusminto pun akhirnya dilalui dengan penuh penderitaan.
Sampai akhirnya Mbah Rusminto meninggal dunia beberapa tahun kemudian.
Semoga ada ibroh (pelajaran berharga) yang dapat kita petik dari kisah
di atas.
Dikisahkan oleh:Dr. Dito Anurogo
0 Response to "[Kisah Nyata] Aib Akhirnya Terkuak Saat Haji"
Post a Comment