Mulutmu Harimaumu, Jarimu Monstermu

Hari ini, seiring maraknya penggunaan media sosial, semakin banyak orang menjadi sosialita di dunia maya. Melalui facebook hingga whatsapp, anak SMP hingga ustadz lebih mudah berkomunikasi, berbagi info dan berdiskusi melalui ponsel pintarnya.


Mulutmu harimaumu
Mulutmu harimaumu
Tentu saja hal ini membawa banyak manfaat. Koordinasi dan rapat tak harus bertatap muka. Melalui grup whatsapp, misalnya, rapat online bisa digelar sewaktu-waktu dengan banyak peserta yang tersebar di berbagai tempat, bahkan di belahan dunia lain.


Ilmu juga mudah disebarkan. Majelis ta’lim tak harus dilakukan dengan duduk bersama di suatu tempat. Seorang ustadz atau ulama bisa menyebarkan dakwah dan ilmunya lebih cepat dan meluas dengan teknologi media sosial.


Persoalannya kemudian, kemudahan berbagi informasi via media sosial ini menjerumuskan sebagian orang dalam tingkah laku ala sosialita. Kaum yang gemar bersosial dan bergaul, menjadi peramai pesta, sumber gosip dan isu hangat di tengah publik.


Dahulu, sosialita hanyalah mereka yang bisa bergaul di kalangan elit. Mereka yang bisa menembus jejaring dunia pesta dan acara yang dihadiri para pesohor. Kini, seiring perubahan zaman, orang bisa menjadi sosialita dengan duduk-duduk di rumah saja.


Caranya? Ia aktif mengikuti media sosial. Lewat twitter, misalnya, ia bisa mengenal dan dikenal oleh banyak orang termasuk para tokoh dan figur publik yang sudah terkenal. Keterkenalan adalah pengaruh yang menular, siapa yang bergaul dengan orang terkenal maka ia akan ikut terkenal juga.


Soal gaul ini, dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW pernah memperingatkan agar seorang Muslim pandai-pandai memilih teman bergaul. Kawan yang baik, kata Rasul, seperti penjual minyak wangi yang membawa semerbak harum ke sekitarnya. Termasuk pada kawannya, kebaikan akan mengiringi seperti aroma parfum yang menyebar ke sekitar.


Sebaliknya, bergaul dengan kawan yang buruk ibarat berkawan dengan pandai besi yang bekerja di tengah kepulan asap dan kilatan bara api. Ia akan terkena jilatan api atau minimal tertular bau sangitnya asap. Terkenal sebagai dai yang menyebarkan ilmu dan kebaikan tentu bermanfaat. Namun, celaka jika dikenal sebagai penyebar isu dan dusta. Mungkinkah?


Berbagi Hoax


Salah satu kebiasaan buruk mereka yang menjadi sosialita adalah menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Gosip dan isu pun mudah menyebar, menimbulkan skandal yang merusak nama baik orang lain dan menimbulkan kabut prasangka di tengah masyarakat.


Rasulullah SAW mengajarkan, bahwa kemampuan memilah info adalah kriteria utama kejujuran. Kata beliau, “Cukuplah seseorang disebut pendusta jika ia menyampaikan apapun yang ia dengar” (HR Muslim). Jadi, tak harus menyengaja berdusta, orang dianggap berdusta jika ia mudah menyebarkan berita yang didengar tanpa memilah dan memeriksa dahulu faktanya.


Prakteknya hari ini, melalui media sosial, orang mudah sekali berbagi info dan berita yang belum jelas kebenarannya. Tak peduli benar atau dusta, orang cenderung mudah menyebarkannya. Jadilah grup-grup media sosial menjadi ajang menyebarkan informasi yang tak terverifikasi.


Efek buruk ini menjadi berlipat ganda jika sosialita yang menyebarkan info itu adalah seorang ustadz atau dai. Jenis manusia yang selama ini dipercaya oleh masyarakat. Ustadz dan dai dianggap terpercaya karena mereka biasanya menghindari dusta.


Namun terkadang, di dunia media sosial yang interaksinya tak langsung berhadapan muka, para ustadz dan dai pun mudah tergelincir. Mereka membagikan info yang belum jelas sumber dan faktanya. Mereka berpikir, “Saya cuma men-share info saja. Nanti orang lain pasti tak langsung percaya dan tabayyun dulu.”


Ia lupa bahwa kebanyakan orang yang awam mencukupkan diri dengan “kata Ustadz Fulan.” Mereka malas, atau tak mampu, menggali dan memverifikasi info dan ilmu sesuai kaidah syar’i. Maka info yang belum jelas pun menyebar luas, dan celakanya, diberi embel-embel “dari Ustadz Fulan.”


Isu itu pun menguat berlipat ganda. Bahkan orang yang kritis pun bisa tertipu olehnya karena sanadnya dikuatkan oleh seorang ustadz. Mungkin baiki hasilnya kalau isinya benar, tetapi celaka akibatnya jika ternyata isinya hoax alias tipuan.


Mudahnya Berdusta


Kembali pada kaidah hadits Nabi bahwa “menyebar info sembarangan adalah sifat pendusta,” hal itu hari ini sangat mudah dilakukan. Cukup sekali pencet keypad atau layar sentuh, ting!, berita langsung menyebar. Mudah sekali berbagi informasi dengan teknologi media sosial hari ini.


Artinya, mudah sekali menebar kabaikan namun juga sangat mudah menyebarkan kedustaan. Semakin murahnya ponsel pintar membuat gelar pendusta mudah disematkan pada mereka yang suka berbagi informasi apapun yang mereka dapatkan. Padahal ada kewajiban memastikan kebenarannya atau memperjelas sumbernya sebelum menyebarkan berita.


Dahulu ada istilah “mulutmu harimaumu,” lisan yang tak dijaga bisa mencelakakan pemiliknya seperti harimau yang memakan pawangnya. Kini tak harus pakai mulut, sentuhan jari pun bisa berefek sama, bahkan lebih dahsyat. Tak berlebihan jika hari ini dikatakan “jarimu monstermu.”


Berpikirlah dahulu sebelum mengetuk tombol share di ponsel kita. Jangan sampai ketukan jari kita menjadikan kita pendusta di mata Rasulullah. Kritisi dahulu, pastikan kebenarannya sebelum disebarkan. Jangan tergoda menjadi yang “terdepan mengabarkan” namun justru mengaburkan kebenaran.


Nasehat yang sama juga berlaku bagi media Islam. Jika para wartawannya tak melakukkan tugas dengan baik, di antaranya menjalankan tabayyun dan verifikasi informasi, maka berita dusta akan mudah menyebar dan dipercaya. Pasalnya yang menyebarkannya adalah media Islam yang dianggap terpercaya.


Berita itu seperti api, ia cepat padam jika membakar kayu yang basah. Namun ia akan cepat menyebar dan membesar jika kayunya kering. Orang yang dikenal pendusta adalah kayu basah, sementara mereka yang dianggap terpercaya adalah kayu yang kering.


Isu hoax akan mudah hilang jika beredar dan diedarkan oleh para pendusta. Namun, ia bisa menyebar luas jika disampaikan oleh orang yang dipercaya. Maka berhati-hatilah wahai para ustadz dan dai, jangan sampai terjerumus menjadi sosialita pendusta. Hati-hatilah dengan jarimu!(Dikutip dari majalah annajah edisi 108 rubrik sekitar kita)

0 Response to "Mulutmu Harimaumu, Jarimu Monstermu"