Mulutmu harimaumu |
Tentu saja hal ini membawa banyak manfaat. Koordinasi dan rapat tak
harus bertatap muka. Melalui grup whatsapp, misalnya, rapat online bisa
digelar sewaktu-waktu dengan banyak peserta yang tersebar di berbagai
tempat, bahkan di belahan dunia lain.
Ilmu juga mudah disebarkan. Majelis ta’lim tak harus dilakukan dengan
duduk bersama di suatu tempat. Seorang ustadz atau ulama bisa
menyebarkan dakwah dan ilmunya lebih cepat dan meluas dengan teknologi
media sosial.
Persoalannya kemudian, kemudahan berbagi informasi via media sosial
ini menjerumuskan sebagian orang dalam tingkah laku ala sosialita. Kaum
yang gemar bersosial dan bergaul, menjadi peramai pesta, sumber gosip
dan isu hangat di tengah publik.
Dahulu, sosialita hanyalah mereka yang bisa bergaul di kalangan elit.
Mereka yang bisa menembus jejaring dunia pesta dan acara yang dihadiri
para pesohor. Kini, seiring perubahan zaman, orang bisa menjadi
sosialita dengan duduk-duduk di rumah saja.
Caranya? Ia aktif mengikuti media sosial. Lewat twitter, misalnya, ia
bisa mengenal dan dikenal oleh banyak orang termasuk para tokoh dan
figur publik yang sudah terkenal. Keterkenalan adalah pengaruh yang
menular, siapa yang bergaul dengan orang terkenal maka ia akan ikut
terkenal juga.
Soal gaul ini, dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah
SAW pernah memperingatkan agar seorang Muslim pandai-pandai memilih
teman bergaul. Kawan yang baik, kata Rasul, seperti penjual minyak wangi
yang membawa semerbak harum ke sekitarnya. Termasuk pada kawannya,
kebaikan akan mengiringi seperti aroma parfum yang menyebar ke sekitar.
Sebaliknya, bergaul dengan kawan yang buruk ibarat berkawan dengan
pandai besi yang bekerja di tengah kepulan asap dan kilatan bara api. Ia
akan terkena jilatan api atau minimal tertular bau sangitnya asap.
Terkenal sebagai dai yang menyebarkan ilmu dan kebaikan tentu
bermanfaat. Namun, celaka jika dikenal sebagai penyebar isu dan dusta.
Mungkinkah?
Berbagi Hoax
Salah satu kebiasaan buruk mereka yang menjadi sosialita adalah
menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Gosip dan isu pun mudah
menyebar, menimbulkan skandal yang merusak nama baik orang lain dan
menimbulkan kabut prasangka di tengah masyarakat.
Rasulullah SAW mengajarkan, bahwa kemampuan memilah info adalah
kriteria utama kejujuran. Kata beliau, “Cukuplah seseorang disebut
pendusta jika ia menyampaikan apapun yang ia dengar” (HR Muslim). Jadi,
tak harus menyengaja berdusta, orang dianggap berdusta jika ia mudah
menyebarkan berita yang didengar tanpa memilah dan memeriksa dahulu
faktanya.
Prakteknya hari ini, melalui media sosial, orang mudah sekali berbagi
info dan berita yang belum jelas kebenarannya. Tak peduli benar atau
dusta, orang cenderung mudah menyebarkannya. Jadilah grup-grup media
sosial menjadi ajang menyebarkan informasi yang tak terverifikasi.
Efek buruk ini menjadi berlipat ganda jika sosialita yang menyebarkan
info itu adalah seorang ustadz atau dai. Jenis manusia yang selama ini
dipercaya oleh masyarakat. Ustadz dan dai dianggap terpercaya karena
mereka biasanya menghindari dusta.
Namun terkadang, di dunia media sosial yang interaksinya tak langsung
berhadapan muka, para ustadz dan dai pun mudah tergelincir. Mereka
membagikan info yang belum jelas sumber dan faktanya. Mereka berpikir,
“Saya cuma men-share info saja. Nanti orang lain pasti tak langsung percaya dan tabayyun dulu.”
Ia lupa bahwa kebanyakan orang yang awam mencukupkan diri dengan
“kata Ustadz Fulan.” Mereka malas, atau tak mampu, menggali dan
memverifikasi info dan ilmu sesuai kaidah syar’i. Maka info yang belum
jelas pun menyebar luas, dan celakanya, diberi embel-embel “dari Ustadz
Fulan.”
Isu itu pun menguat berlipat ganda. Bahkan orang yang kritis pun bisa
tertipu olehnya karena sanadnya dikuatkan oleh seorang ustadz. Mungkin
baiki hasilnya kalau isinya benar, tetapi celaka akibatnya jika ternyata
isinya hoax alias tipuan.
Mudahnya Berdusta
Kembali pada kaidah hadits Nabi bahwa “menyebar info sembarangan
adalah sifat pendusta,” hal itu hari ini sangat mudah dilakukan. Cukup
sekali pencet keypad atau layar sentuh, ting!, berita langsung menyebar.
Mudah sekali berbagi informasi dengan teknologi media sosial hari ini.
Artinya, mudah sekali menebar kabaikan namun juga sangat mudah
menyebarkan kedustaan. Semakin murahnya ponsel pintar membuat gelar
pendusta mudah disematkan pada mereka yang suka berbagi informasi apapun
yang mereka dapatkan. Padahal ada kewajiban memastikan kebenarannya
atau memperjelas sumbernya sebelum menyebarkan berita.
Dahulu ada istilah “mulutmu harimaumu,” lisan yang tak dijaga bisa
mencelakakan pemiliknya seperti harimau yang memakan pawangnya. Kini tak
harus pakai mulut, sentuhan jari pun bisa berefek sama, bahkan lebih
dahsyat. Tak berlebihan jika hari ini dikatakan “jarimu monstermu.”
Berpikirlah dahulu sebelum mengetuk tombol share di ponsel
kita. Jangan sampai ketukan jari kita menjadikan kita pendusta di mata
Rasulullah. Kritisi dahulu, pastikan kebenarannya sebelum disebarkan.
Jangan tergoda menjadi yang “terdepan mengabarkan” namun justru
mengaburkan kebenaran.
Nasehat yang sama juga berlaku bagi media Islam. Jika para
wartawannya tak melakukkan tugas dengan baik, di antaranya menjalankan
tabayyun dan verifikasi informasi, maka berita dusta akan mudah menyebar
dan dipercaya. Pasalnya yang menyebarkannya adalah media Islam yang
dianggap terpercaya.
Berita itu seperti api, ia cepat padam jika membakar kayu yang basah.
Namun ia akan cepat menyebar dan membesar jika kayunya kering. Orang
yang dikenal pendusta adalah kayu basah, sementara mereka yang dianggap
terpercaya adalah kayu yang kering.
Isu hoax akan mudah hilang jika beredar dan diedarkan oleh para
pendusta. Namun, ia bisa menyebar luas jika disampaikan oleh orang yang
dipercaya. Maka berhati-hatilah wahai para ustadz dan dai, jangan sampai
terjerumus menjadi sosialita pendusta. Hati-hatilah dengan
jarimu!(Dikutip dari majalah annajah edisi 108 rubrik sekitar kita)
0 Response to "Mulutmu Harimaumu, Jarimu Monstermu"
Post a Comment